Museum Dewantoro Kirti Griya
Kepala museum : Ki Suharto
Alamat : Jalan Tamansiswa 31 Yogyakarta (komplek Pendapa Agung, Tamansiswa Jalan Tamansiswa 25
Yogyakarta)
Telp. : (0274) 389208, 377120
Faks. : (0274) 377120
Museum Dewantara Kirti Griya berlokasi di komplek perguruan Tamansiswa yang menempati bekas rumah Ki Hadjar Dewantara sekeluarga, di Jalan Tamansiswa 31 Yogyakarta (dulu Gevangenis Laan Wirogunan).
Bangunan rumah yang berdiri di atas tanah seluas 5.594 m2 tersebut dibeli atas nama Ki Hadjar Dewantara, Ki Sudarminto, Ki Suprapto dari Mas Adjeng Ramsinah pada tanggal 14 Agustus 1935. Konon bangunan rumah tersebut didirikan pada tahun 1925 dengan gaya klasik Hindia Belanda/colonial. Bangunan tercatat dalam buku register Kraton Ngayogyakarta tertanggal 26 Mei 1926, dengan nomor Angka 1383/1 H. Pada tanggal 18 Desember 1951, pembelian tersebut dihibahkan kepada Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa.
Tanggal 3 November 1957, bertepatan dengan kawin emas Ki Hadjar Dewantara, beliau menerima persembahan bakti dari para alumni dan pecinta Tamansiswa berupa rumah tinggal yang diberi nama Padepokan Ki Hadjar Dewantara, berlokasi di Jl. Kusumanegara 131 Yogyakarta. Tahun 1958, pada kesempatan rapat pamong Tamansiswa, Ki Hadjar mengajukan permintaan kepada sidang agar rumah bekas tempat tinggalnya yang berada di komplek perguruan Tamansiswa Jl. Tamansiswa 31 dijadikan museum. Permintaan tersebut ditanggapi dengan baik dan dilaksanakan setelah beliau wafat. Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959. Mulai tahun 1960, Tamansiswa berusaha untuk mewujudkan gagasan almarhum Ki Hadjar Dewantara.
Pada tahun 1963 dibentuklah panitia pendiri Museum Tamansiswa yang terdiri dari:
- 1.Keluarga Ki Hadjar Dewantara
- 2.Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa
- 3.Sejarawan
- 4.Keluarga Besar Tamansiswa
Pada tanggal 2 Mei 1970, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, museum diresmikan dan dibuka untuk umum oleh Nyi Hadjar Dewantara sebagai pemimpin umum Tamansiswa. Museum diberi nama Dewantara Kirti Griya, nama tersebut pemebrian dari Bapak Hadiwidjono seorang ahli bahasa Jawa, yang artinya rumah yang berisi hasil kerja Ki Hadjar Dewantara. Peresmian museum ditandai dengan candrasengkala, “Miyat Ngaluhur Trusing Budi” yang menunjukkan angka tahun 1902 (saka) atau tanggal 2 Mei 1970 Masehi. Makna yang terkandung dalam sengkalan tersebut sama dengan makna dan tujuan memorial yakni, melalui museum diharapkan para pengunjung khususnya generasi muda akan dapat mempelajari, memahami dan kemudian dapat mewujudkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, ke dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di museum ini pula awal lahirnya Badan Musyawarah Musea (Barahmus) DIY tahun 1971, yang dipimpin Mayor Supandi (alm.) sebagai ketua I dan selanjutnya Barahmus DIY beralamat di Jl. Tamansiswa 31 hingga 2 Mei 2007, kemudian pindah ke museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Koleksi utama dari museum yang berjumlah 1.305 ini yakni benda-benda Peninggalan sejarah Perjuangan Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa.



























































































































Telah berpulang, Bapak Gathut Dwi Hastoro, Ketua AMIDA DKI Jakarta "Paramita Jaya", pada Selasa, 29 Maret 2016 sekitar pukul 21.10 WIB. Beliau yang juga lama mengabdi sebagai Ketua UPK Kota Tua Jakarta merupakan sosok pejuang dan pengabdi permuseuman Indonesia.
Keluarga permuseuman Indonesia kembali kehilangan. Salah satu pejuang museum yang selama ini dikenal berdedikasi dalam mengelola Museum Kereta Api Ambarawa, Tri Prastiyo, dikabarkan berpulang ke sisi Tuhan Yang Maha Esa pada April 2016.
Alangkah terharunja hati saja tatkala saja mengundjungi suatu museum di Mexico-city. Museum itu ialah museum Sedjarah Perdjoangan Nasional Mexico. Saja terharu
Pada galibnya, kita serupa dengan museum. Aku juga terpanggil mempersembahkan karya masterpiece dalam sentuhan modern.
Media sederhana ini merupakan bagian dari pelaksanaan program dan agenda Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Pusat yang bermuara pada satu sasaran utama, yakni pembangunan karakter dan pekerti bangsa (nation and character building) sebagai landasan terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil, makmur, bermartabat, semulia cita-cita para founding father.