Liputan Budaya:
Batik, Yang Tak Lekang dari Pekalongan
Mengakhiri bulan Juli 2016, Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia, Putu Supadma Rudana, melakukan anjangsana ke Kota Batik Pekalongan (30/07). Didampingi Bendahara Umum, Waluyono, kunjungan ini sekaligus juga untuk memaknai sepuluh tahun keberadaan Museum Batik Pekalongan, yang pada 12 Juli 2006 lalu diresmikan pendiriannya oleh Presiden RI keenam, Bapak Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Tim Media AMI yang turut serta dalam anjangsana ini mendokumentasikan kegiatan ini, termasuk acara diundangnya Ketua Umum AMI dalam dialog budaya yang diselenggarakan Museum Batik Pekalongan, bertajuk "Batik Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan."
Gerimis tipis menyambut kami di stasiun ketibaan petang itu. Tanpa terasa perjalanan selama lima jam dari Jakarta pun telah tertunaikan, sampai dengan selamat di tujuan, di sebuah kota yang kaya dengan warisan sejarah, wujud kebudayaan, sekaligus nuansa kebersahajaan masyarakat pesisir pantai utara Jawa, yaitu Pekalongan.
Masih menggunakan ransel hitam sederhana, Ketua Umum AMI, Putu Rudana, berdiri antri di pintu keluar stasiun. Di sebelahnya, Waluyono yang juga dipercaya sebagai Bendahara Umum, berkali mencoba menelepon dan berkirim pesan, hingga panggilannya terjawab oleh seseorang di seberang sambungan. "Selamat malam, Pak Puji, kami sudah sampai Pekalongan. Semoga bisa silaturahmi dengan kawan-kawan," ujar Waluyono. Begitulah, Puji Joharnoto, Ketua AMIDA Jawa Tengah, menyampaikan posisi terkininya dan berjanji akan menemui kami segera.
Beberapa pria menawarkan jasa tumpangan becak. Satu dua orang menanyakan lokasi tujuan kami dalam kalimat-kalimat singkat. Tatap mata penuh pengharapan tersirat pada wajah mereka—ada yang berezeki baik mendapat penumpang, ada yang masih mencoba berdiri menanti peruntungan. Ketika melewati jalanan yang remang di pelataran parkir, gerimis mulai menitik dan membuat kami mempercepat langkah untuk menyeberang jalan ke arah penginapan.
Persis di pinggir trotoar, seorang tukang becak sedang terlelap, tanpa memedulikan deru dan klakson kendaraan—apakah itu bus malam lintas Jawa atau truk besar bemuatan aneka barang—yang berulang melintas jalan ramai itu. Di sana sini, dalam linangan cahaya lampu iklan maupun penerangan dari deretan pertokoan, terlihat rumah-rumah usaha yang masih buka: toko serba ada, penginapan aneka kelas, sampai angkringan sederhana yang menyajikan berbagai menu makanan.
Pada saat itulah, selintas suasana bersahaja seketika tersirat, yang sekaligus mencerminkan arus perubahaan kota Pekalongan: antara denyut tradisi dalam laju kendaraan becak yang selama ini mencoba bertahan dan riuh kekinian yang tergambar dari mobilitas jalur Pantura; Pekalongan di masa lalu yang bersisian dengan Pekalongan yang sekarang, dan menyisakan pertanyaan seperti apakah kemudian keadaan kota ini bertahun-tahun kelak kemudian?
Apakah ini kebetulan? Besok pagi kami akan mengikuti suatu diskusi kebudayaan dengan tema yang hampir serupa dengan suasana yang baru saja dijumpai petang itu: Batik Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan.
Kebetulan atau bukan, pengalaman anjangsana di Pekalongan kali ini pastilah akan memberi makna tersendiri bagi kami.
Boleh dibilang, ini merupakan kunjungan kedua Putu Rudana ke Pekalongan. Sebagai seorang pecinta permuseuman, dia merasa kehadirannya kali ini ke kota budaya ini memiliki makna tersendiri, terlebih karena kedatangannya tak lain demi turut memaknai sepuluh tahun kehadiran Museum Batik Pekalongan. Sebelumnya, Ketua Umum AMI ini berkunjung pada Maret 2016, serangkaian dialog permuseuman yang digelar institusi yang serupa.
"Waktu itu, dalam kesempatan yang sekilas, seusai menjadi pembicara di kegiatan tersebut, saya diundang berkeliling Museum Batik juga daerah-daerah di sekitarnya. Persoalan yang sama pun dijumpai di Museum ini. Kondisi insfrastrukur yang membutuhkan penanganan segera, penataan koleksi batik berikut dokumentasi utuh atas khazanah kebudayaan ini, hingga pengembangan lingkungan museum yang kondusif," tutur Putu Rudana mengenang pengalaman kunjungannya yang terdahulu. Kami sedang berkeliling kota Pekalongan, bersama Puji Joharnoto yang khusus datang dari Semarang. Menyusuri malam di kota ini, dalam cuaca lembab dingin di kota pesisiran, menyaksikan degup hidup para penduduk yang masih terjaga dan berkendara di jalan-jalan, sungguh hal yang mengesankan.
"Oya, ada satu hal yang mungkin perlu disampaikan," tambahnya kemudian, "Sejak itu saya punya pengharapan, bahwa batik harus menjadi trade-mark kota ini. Harus ada kebijakan komprehensif dalam melestarikan dan mengembangkan batik. Bila perlu, ketika seseorang menjelang masuk ke kota, dia dapat merasakan nuansa khas daerah ini. Sebab dalam perjalanan sejarahnya, batik bukan hanya wujud luhur kebudayaan, melainkan tentu telah merasuk menjadi filosofi masyarakat Kota Pekalongan."
Dari Ruang Diskusi
Hujan yang semalaman menderas di seluruh kota Pekalongan ternyata memberikan suasana teduh di pagi keesokan harinya. Tepat pukul 09.00, Dewa, seorang staf dari Museum Batik Pekalongan menjemput kami untuk bersama-sama ke lokasi acara.
"Kita akan menuju Gedung Walikota Pekalongan," jelasnya setelah memperkenalkan diri dan menanyakan kabar kami. "Semoga Bapak semua berkesan dengan kota kami yang sederhana ini," katanya.
Apa yang kami saksikan di malam sebelumnya, kesan kebersahajaan kota Pekalongan, tergambar kembali di pagi hari ini. Kami melintasi jalan-jalan kecil menuju lokasi kegiatan, yang sebelumnya dijadwalkan di Rumah Jabatan Bakorwil III—sekitar Karesidenan Pekalongan—diganti ke Kantor Walikota Pekalongan atas dukungan Pemerintah setempat. Mobil tak dapat melaju kencang sebab selalu ada pesepeda atau tukang becak yang melintas. Tidak sekalipun mereka bersinggungan dengan kendaraan bermotor yang ikut menyusuri jalanan ini. Suatu keselarasan yang khas seolah telah menyatu di antara mereka.
Tanti Lusiani, Kepala Museum Batik Pekalongan, menyambut kedatangan narasumber bincang budaya. Sapaannya terkesan hangat, seraya sekilas mengisahkan pendirian Museum Batik Pekalongan berikut tantangan yang dihadapinya. "Sekarang Pemda setempat memberikan perhatian yang lebih baik. Kami diberikan kesempatan melaksanakan program secara berkesinambungan," ujarnya sambil mempersilakan para Narasumber singgah sebentar di suatu ruangan di dalam kawasan kantor Walikota tersebut. Telah hadir di sana para tokoh sejarah dan figur kebudayaan dari Pekalongan yang selama ini terbilang intens mengedukasi publik atas peran penting batik dan pemaknaannya bagi kota ini, di antaranya Afif Syakur (fashion designer), Romi Okta Birawa (Sejarawan Batik) serta Dudung Ali Syahbana (Budayawan). Kedua moderator, Zahir Widadi dan Bambang Wijanarko terlihat antusias berdiskusi dengan Tanti Lusiani sebelum kemudian memberikan sedikit kemungkinan pendalaman bahan yang bisa disampaikan kepada para peserta bincang budaya.
Acara diskusi pun berlangsung amat menarik. Tiap pembicara menyampaikan pandangannya berdasar pada pengalaman dan wawasannya masing-masing. Tampil sebagai pembicara pertama, Putu Rudana mengawali paparannya dengan menyampaikan kesannya atas Kota Pekalongan. Baginya, Pekalongan dengan ragam batiknya yang khas memiliki potensi pengembangan yang tidak terkira. "Kebersahajaan Pekalongan dan batiknya yang menawan perlu dipadukan secara utuh. Pekalongan harus berani mentransformasi dirinya menjadi kota batik yang dikenal dunia mancanegara. Agar bisa menjadi the city world of batik...." tambahnya merespon telah dikukuhkannya batik sebagai salah satu World Heritage oleh UNESCO.
Dia menambahkan bahwa batik juga harus dilihat dalam perspektif kualitas, bukan sebagai komoditas. Di masa lalu batik telah hadir sebagai milik bersama, mencirikan nilai komunal masyarakat pada masa itu, dan menurutnya di masa kini batik pun harus menjadi salah satu ciri dari bangsa Indonesia di mana Pekalongan menjadi satu sentra utamanya, bersama-sama dengan daerah Yogyakarta, Solo dan sebagainya. "Antara tradisi dan kreasi mesti dikembangkan seiring-sejalan. Tradisi bertujuan memuliakan kebudayaan dan warisan sejarah kita, sekaligus kemungkinan pembelajaran bagi generasi berikutnya. Sedangkan kreasi mendorong kita untuk sigap-tanggap menghadapi perubahan, supaya kita melulu tergerus dalam arus kekinian. Dan museum, sebagai rumah budaya dan peradaban negeri ini, memberi peluang bagi dua hal ini, yakni melestarikan tradisi dan mengakomodir kreasi," tegasnya.
Batik sebagai Proses Bertumbuh
Giliran selanjutnya, Afif Syakur, menjelaskan secara komprehensif sejarah dari motif-motif batik Pekalongan yang khas itu, secara menambahkan catatan penting, "Mulanya batik adalah buah cipta masyarakat, milik rakyat yang kemudian dikembangkan oleh pihak keraton. Dia kini menjadi milik kita semua, dan karenanya kita, siapapun wajib untuk melestarikannya."
Hal serupa juga disampaikan oleh Romi Okta Birawa, yang menjelaskan peran batik dari masa lalu sampai sekarang, khususnya dalam hal perekonomian dan kebudayaan. Dia menuturkan peluang-peluang batik sebagai buah cipta kreatif yang mendukung masyarakat dari sisi ekonomi. Sementara Dudung Ali Syahbana, seorang budayawan yang tampil cergas dan lugas, mengangkat esensi batik dalam lintasan historisnya dengan menekankan poin kunci, "Batik jangan hanya dilihat dari kesadaran materi. Bila ini yang dikedepankan, maka bahasan batik hanya berhenti pada soal motif dan bentuk, atau bahkan sebagai daya ekonomis. Batik harus dilihat dari kesadaran batin, di mana dengan demikian kita akan menemukan nilai hakiki dari batik. Apa nilai hakiki itu? Tidak lain adalah kesabaran, ketulusan, daya penciptaan, hingga penghormatan atas kebudayaan...."
Sebagai penutup paparannya, menjelang akhir bincang budaya, Putu Rudana menyampaikan satu hal. Di tengah era keterbukaan ini, di mana dunia lokal bersentuhan nyata dengan kehidupan global, antara tradisi dan kemodernan yang makin bersisian dan bahkan bersinggungan, dia bertanya, bagaimana kita bisa memastikan pelestarian dan pengembangan batik agar berjalan seiring-sejalan.
"Kita perlu memahami sejarahnya, juga wujud-wujud perkembangannya. Kita membutuhkan dokumentasi yang merekam ragamnya, dan dengan itu kita memahami bahwa batik pun mewakili proses kita bertumbuh sebagai suatu entitas bersama. Dari situlah kita akan memandang batik sebagai suatu nilai, hal yang mengilhami kreasi-kreasi kita selanjutnya, hingga jauh ke masa depan," ungkapnya sebelum melanjutkan, "Maka dengandemikianlah, batik pun menjadi tanggungjawab seluruh generasi kita. Dari dahulu, kini, sampai nanti."
Batik, suatu khazanah budaya yang selama ini terbukti berhasil melintas generasi, memang membutuhkan perhatian kita semua. Agar dia tetap lestari. Agar dia tak lekang dari tanah Pekalongan, salah satu rumah muasalnya yang bersahaja ini.
Ketua Umum AMI Roadshow Temui Seniman Senior
Menjelang Pertemuan Nasional Museum (PNM) di Bali, Mei 2016 mendatang, Ketua Umum AMI, Putu Supadma Rudana bersama panitia melakukan roadshow menemui para seniman senior dan pemilik museum di Bali. Roadshow dilakukan sejak 28-29 April 2016 sebagai persiapan pemantapan pelaksanaan pertemuan para anggota asosiasi tersebut di Pulau Dewata.
Ibas Dorong AMI Terus Kampanyekan Gerakan Aku Cinta Museum
Jakarta: Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR-RI Edhie Baskoro Yudhoyono atau yang biasa disapa Ibas mengatakan perlu upaya serius dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melestarikan nilai-nilai dan benda-benda budaya Indonesia, salah satunya dengan pelestarian museum sebagai wadah melestarikan kekayaan seni dan budaya Indonesia.
Asosiasi Museum Indonesia Audiensi dengan FPD
fraksidemokrat.org, Jakarta. Perhatian terhadap museum memang belum memadai. Pembangunan dan pengembangan museum di Tanah Air masih belum menggembirakan. Tapi kondisi ini, sebaiknya tidak menjadi alasan bagi penggiat museum untuk meningkatkan kreativitas, mengembangkan aspek kemasan, marketing, dan sosialisasi untuk menarik perhatian masyarakat mencintai museum.
Mari Bangun Narasi Optimisme Kebudayaan
Keluarga Besar Asosiasi Museum Indonesia melakukan audiensi ke hadapan Direktur Jenderal Kebudayaan RI, Dr. Hilmar Farid, pada Kamis, 3 Maret 2016. Hadir dalam pertemuan silaturahmi tersebut antara lain Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia didampingi Bendahara Umum AMI, berikut Ketua dan Sekretaris Asosiasi Museum Indonesia Daerah/Kawasan dari seluruh Nusantara.
Menyongsong PNM tahun 2016, AMI Gelar Rapimnas di Jakarta
Asosiasi Museum Indonesia belum lama menyelenggarakan Rapat Pimpinan Nasional (RAPIMNAS) AMI tahun 2016 di Jakarta. Dihadiri oleh 10 Asosiasi Museum Indonesia Daerah dan Kawasan Khusus, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, Sumatera Bagian Selatan, Banten, DKI Jakarta (Paramita Jaya), Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta (BARAHMUS), dan AMIKA TMII, pertemuan tersebut membahas agenda ke depan di antaranya Pertemuan Nasional Museum se-Indonesia yang akan diselenggarakan pada 24-27 Mei 2016.