Harum Nama Pahlawan Mewangi dari Sebuah Dusun
Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia, Sekretaris Jenderal serta Bendahara Umum AMI belum lama melakukan anjangsana ke Museum Soesilo Soedarman di Cilacap, Jawa Tengah, 22 November 2015. Kunjungan ke daerah yang kali pertama dilaksanakan pasca Rapat Pimpinan Nasional AMI, mempertemukan sekaligus mengkonsolidasikan seluruh jajaran Asosiasi Museum Indonesia se-Indonesia, dilakukan dalam rangka membangun jejaring komunikasi secara lebih komprehensif dengan museum-museum di Nusantara. Secara khusus pula anjangsana tersebut dimaknai sebagai wujud kebersamaan menyambut ulang tahun Museum Soesilo Soedarman yang ke-15.
Tim Sekretariat AMI yang hadir mendampingi berkesempatan mendokumentasikan perjalanan Ketum, Sekjen dan Bendum AMI ke kota pesisir selatan pulau Jawa tersebut dalam sebuah reportase. Mari simak peristiwa kunjungan serta makna-makna mendalam dari kehadiran Museum Soesilo Soedarman.
Setelah enam jam perjalanan dengan kereta dari Jakarta, kami pun tiba sedini hari di Stasiun Kroya, Cilacap. Waktu menunjukan pukul 4.30. Udara gigil menghembus bersama suara burung pagi. Kendati kereta belum sepenuhnya berhenti, Bendahara Umum AMI, Waluyono, yang telah sepenuhnya mengancingkan jaket penghangat, berdiri tepat di muka pintu kereta bagaikan bersiap turun menyambut tanah pesisiran Cilacap. Berulang kali ia memberikan informasi bahwa stasiun ini merupakan salah satu perlintasan yang penting dalam transportasi kereta api di pulau Jawa, sekaligus menyampaikan kalau Museum Soesilo Soedarman, lokasi tujuan kami hari itu, tidak jauh berjarak dari stasiun lama ini.
Entah bagaimana, tidak ada seorangpun di antara kami yang masih diliputi kantuk pagi itu. Padahal boleh dikata, waktu tempuh dari Jakarta terbilang panjang. Apalagi semalaman tim AMI tersebut secara intens berdiskusi perihal program kegiatan serta rencana pengembangan permuseuman di tahun 2016 serta tahun-tahun berikutnya. Peluit kepala stasiun ditiup lantang, menyisakan gema yang bergaung hilang, bagaikan mengundang kami untuk segera berancang turun menjejak kaki di peron stasiun yang lengang.
Sejurus kemudian, Sigit Gunardjo, Sekretaris Jenderal AMI, terlihat gegas menyeberang ke sisi peron. Ia menyusul Ketua Umum AMI, Putu Supadma Rudana, yang terlihat cekatan memintas langkah memimpin jalan di depan. Lima belas menit berselang, seusai menunaikan sholat subuh, kami menuju pintu masuk stasiun, di mana seorang pria benama Yusuf yang tergabung sebagai staf pengelola Museum Soesilo Soedarman telah menunggu kedatangan kami.
Sembari mengemudi, ia menjelaskan bahwa jarak ke museum hanya sekitar 30 menit saja. "Bahkan bisa lebih cepat, kalau di subuh hari seperti ini," ujarnya. Kelihatannya Yusuf cukup sabar menjawab pertanyaan demi pertanyaan dan memaparkan peran penting Soesilo Soedarman yang adalah kelahiran Desa Kroya, Cilacap, bagi masyarakat setempat. Siapa pula yang tidak tahu, betapa kiprah Beliau juga begitu mulia bagi bangsa ini: meniti karir sebagai prajurit TNI, dipercaya menjabat posisi strategis di pemerintahan (Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, hingga memegang peran sebagai Menko Polhukam), serta berbagai sumbangsih nyata lainnya.
"Sangat tepat bila Museum Soesilo Soedarman ini didirikan, demi mengabadikan jasa-jasa Beliau, agar masyarakat memahami laku kehidupan seorang patriot serta pelaku sejarah Indonesia yang penting ini," ujar Putu Supadma Rudana menanggapi. "Kisah perjuangan serta pengabdian Beliau adalah suri tauladan bagi kita semua," tambahnya.
Matahari terbit menyingsing fajar, memberi cahaya pada lanskap desa dini hari. Sepanjang jalan kami saksikan indahnya persawahan yang membentang bagai hingga ke batas cakrawala, pertanda karunia yang tiada terkira bagi bumi Nusantara. Nun di kejauhan, hutan-hutan yang merimbun diterpa rekah cahaya pagi, terlihat sedemikian elok melebihi lukisan karya manusia manapun. Semuanya terlihat berpadu selaras dalam irama alam yang meneduhkan batin.
Beberapa kali kami jumpai penduduk desa yang berjalan-jalan di pinggiran. Mereka tampaknya akan pergi ke pasar terdekat guna membeli kebutuhan sehari-hari. Senyum mereka tampak bersahaja tatkala mobil yang kami tumpangi mendahului secara perlahan. Senyum yang barangkali sangat sulit dijumpai dalam suasana arus deras mobilitas perkotaan, berkilo-kilo meter jauhnya dari sini.
Benar kata Yusuf, tidak sampai 30 menit sampailah kami di Museum Soesilo Soedarman. Seorang perempuan, yang tiada lain ialah istri dari Darjito, pria yang dipercaya mengelola museum sehari-hari, dengan wajah bahagia menyambut kami. Dipersilakan singgah di rumah dinas museum, kami duduk sesaat melepas penat dengan hidangan kue penganan khas desa setempat.
"Pak Darjito masih di rumah. Sebentar akan bergabung kemari," perempuan tersebut memberikan penjelasan. "Bagaimana perjalanannya?"
Ketua Umum AMI menjawab santun bahwa merupakan kegembiraan dapat berkunjung ke Cilacap dalam kesempatan berharga serangkaian ulang tahun museum. "Ini kali pertamanya saya ke Cilacap, kendati Pak Darjito telah berulang-ulang mengundang kami untuk mampir. Kami berjumpa tidak hanya sekali, bahkan dalam aneka acara seperti di Tanjungpinang, Malang, dan Semarang," jawabnya seraya berterimakasih atas sambutan para pengelola museum yang begitu hangat.
Sejak museum ini berdiri, Darjito sudah dipercaya untuk menjaga dan merawat museum. Sekarang usia Pak Darjito sudah 65 tahun, dan sampai kini semangatnya tidak pernah surut dalam memperhatikan berbagai hal mengenai museum. Hanya ada 15 orang yang bertugas di museum tersebut, semuanya adalah warga desa setempat, dipimpin oleh Direktur Museum, Ungki Apoli, yang juga masih bagian dari keluarga besar Soesilo Soedarman. Koleksi-koleksi yang tersimpan di dalam museum sendiri dikumpulkan secara kolektif oleh pihak keluarga, meliputi memorabilia perjalanan karir Soesilo Soedarman, catatan perjalanan ke berbagai negara, foto-foto lawatan dinas ataupun kenegaraan, kisah dan silsilah keluarga, hingga beberapa senjata atau kendaraan perang yang berkaitan dengan cerita hidup Beliau. Adalah Indroyono Soesilo, putra kedua yang juga pernah menjabat sebagai Menko Kemaritiman era Jokowi, yang secara telaten mengumpulkan benda-benda kenangan atas sang ayahanda dan mendorong terwujudnya museum ini.
Kesadaran pendirian museum sebenarnya mengemuka dari Soesilo Soedarman sendiri, tertuang dalam wasiat yang ditulis pada tahun 1983 (yang surat asli bertuliskan tangan Beliau sendiri ini terpasang khusus di museum). Sayangnya, baru setelah Beliau wafat di tahun 1997 barulah para keluarga bersama-sama merumuskan terwujudnya museum yang diidam-idamkan oleh Beliau.
Lima Belas Tahun Merawat Sejarah
"Museum ini didirikan di atas lahan rumah kepunyaan Eyang Pak Soesilo," demikian tuturan Ungki Apoli di sela acara peringatan ulang tahun museum, beberapa jam kemudian. "Pak Soesilo sangat dekat dengan Eyang, bahkan boleh dikata jauh lebih dekat dibandingkan dengan orangtua Beliau sendiri. Sang Eyang pula yang selalu mendukung Pak Soesilo di masa kanak dan masa muda. Jasa tulus Beliau sangat dijunjung oleh Pak Soesilo, sehingga kemudian Beliau berkeinginan agar sebuah museum didirikan di lahan ini sebagai bentuk penghormatan atas peran Eyang. Barangkali, tanpa kehadiran sang Eyang, Pak Soesilo tidak akan mencapai prestasi sebagaimana yang kita kenal sekarang," tuturnya.
Acara seremonial peringatan 15 tahun Museum Soesilo Soedarman berlangsung sederhana namun sarat makna. Undangan terdiri dari para jajaran pemerintah desa dan kecamatan, diramaikan oleh penduduk setempat yang berkeinginan menyaksikan jalannya acara. Tidak jauh dari dari lokasi seremoni, terdapat warung-warung yang dikelola oleh warga serta aneka pedagang kaki lima yang menjajakan penganan-penganan yang disuka anak-anak. Saat kegiatan berlangsung bahkan terdengar riuh gembira anak-anak yang berenang di kolam samping museum. Pendek kata, museum ini terasa begitu hangat, di mana warga dapat menikmati aneka atraksi sekaligus berkesempatan untuk mengenal lebih jauh dengan sosok Soesilo Soedarman.
"Museum ini berhasil memadukan peran sebagai lembaga yang mengedukasi sekaligus wahana rekreasi. Meskipun promosi manfaat museum terus kita gencarkan, memang masih saja ada kendala paradigma publik bahwa museum adalah tempat penyimpanan barang kuno yang tidak menarik, apalagi memiliki makna bagi dunia era sekarang. Saya sangat mengapresiasi langkah kreatif dari Museum Soesilo Soedarman, sebagaimana juga museum-museum lainnya yang berusaha mendekatkan museum dengan masyarakat, baik melalui penyelenggaraan program, penambahan atraksi atau wahana, hingga menggalang kerjasama dengan komunitas ataupun pihak-pihak lainnya," ungkap Putu Rudana saat meninjau koleksi Museum Soesilo Soedarman.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ungki Apoli, yang menyampaikan bahwa Museum Soesilo Soedarman telah menerima program revitalisasi dari Kemdikbud untuk meremajakan tampilan serta penataan koleksi. "Hasilnya adalah sebagaimana yang kita saksikan sekarang. Dan akan terus kami revitalisasi secara mandiri semata agar museum ini dapat diminati serta dinikmati oleh masyarakat secara luas," imbuhnya.
Museum ini menyimpan berbagai memorabilia peninggalan sejarah Soesilo Soedarman, terdiri dari beberapa ruangan dengan tema kurasi yang mengkhusus, di antaranya ruang budaya, ruang keluarga, ruang yang menjelaskan perjalanan karir dan kiprah Soesilo Soedarman sebagai prajurit TNI serta pejabat, hingga sebuah halaman yang memajang koleksi-koleksi pesawat angkatan udara, tank, hingga benda peraga lainnya. Yang paling menarik perhatian adalah sebuah pesawat yang berdiri megah di titik tengah halaman serta tidak pernah luput menjadi obyek foto para warga.
"Itu pesawat Bronco," jelas Ungki Apoli kepada kami. "Hanya ada dua di dunia. Satunya lagi ditempatkan di Museum Texas di Amerika Serikat," tambahnya seraya menjelaskan proses diizinkannya pesawat Bronco tersebut menjadi koleksi museum in, yang diprakarsai oleh pihak keluarga Soesilo Soedarman.
Selama limabelas tahun pendiriannya, kendati berlokasi di kawasan yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, Museum Soesilo Soedarman telah menunjukan keteguhannya dalam merawat jalan sejarah negeri ini melalui usaha merawat memorabilia dan cerita dari patriot bangsa, Soesilo Soedarman. Apalagi museum ini merupakan yang satu-satunya di Cilacap, sehingga sangat penting untuk diperhatikan. Ketua Umum AMI juga menyampaikan, sebagaimana komunikasi yang dilakukannya selama ini bilamana berjumpa dengan stakeholder pemerintahan, bahwa tiap-tiap daerah perlu untuk membangun museum, bukan hanya sebagai wahana yang menyimpan sejarah melainkan sebagai rumah bersama yang menjadi cerminan visi kehadiran kota dan masyarakatnya.
"Museum menunjukan bangsa," ucap Putu Rudana. "Saya yakin itu ungkapan yang sangat tepat karena menggambarkan betapa dalam museum sebenarnya tercerminkan pikiran, gagasan, laku, sejarah, hingga visi bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Merawat museum adalah sejalan dengan upaya merawat kebhinekaan Nusantara kita."
Begitulah, kami kemudian meninggalkan Cilacap dengan kenangan penuh kesan, pada hari yang sama. Kesederhanaan masyarakatnya, keindahan lanskap alamnya, serta kisah pengalaman dari Museum Soesilo Soedarman, berikut laku tulus pengelolanya dalam merawat warisan sejarah, menjadi pemantik semangat untuk terus memuliakan, menggaungkan dan mengabadikan karya budaya bangsa melalui museum. Semangat yang semoga terus bertumbuh senantiasa, menerangi langkah bangsa ini.