Ketua Umum AMI Muhibah Budaya ke Pesisir Selatan Jawa
Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia melangsungkan muhibah budaya ke tiga kota di sekitar pesisir pulau Jawa, yakni Yogyakarta, Solo dan Pacitan pada 1-2 Maret 2015 lalu. Kehadirannya di kota-kota tersebut merupakan bagian dari niatan untuk lebih mengenal, memahami dan bersentuhan secara langsung dengan ragam budaya, museum dan masyarakat setempat, dicerminkan dengan kunjungan ke beberapa museum penting yang selama ini memberi makna bagi perjalanan sejarah, kebudayaan dan peradaban Nusantara.
Museum-museum yang dikunjungi antara lain Memorial Jenderal Besar HM Soeharto (Yogyakarta), Rumah Kediaman Masa Muda Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Pacitan), berikut tiga museum di Solo yakni: museum tertua di Indonesia Museum Radya Pustaka, Museum Batik Danar Hadi, serta Monumen Pers Nasional. Selain menyaksikan koleksi-koleksi yang tersimpan di dalamnya, Ketua Umum AMI juga berdialog dengan para pengelola museum setempat sekaligus mengutarakan gagasan besar memajukan permuseuman sebagaimana yang selama ini diperjuangkan Asosiasi Museum Indonesia, yaitu berupaya membangun jembatan komunikasi antara museum, stakeholders yang menaunginya, berikutnya juga masyarakat luas, yang giliran berikutnya dapat menumbuhkan kesepahaman atas usaha memuliakan kebudayaan dan sejarah melalui museum.
"Hal lain yang juga menjadi fokus perhatian AMI adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia kebudayaan, khususnya permuseuman. Ada museum yang hanya dikelola oleh SDM berjumlah terbatas. Ada juga museum yang sumber dayanya rentan mengalami rotasi dan mutasi akibat struktur birokrasi pemerintahan. Ada pula museum yang pengelolanya bahkan tidak memiliki kapasitas, kualitas, dan perspektif utuh atas museum, yang mengakibatkan kurang terlindungnya koleksi museum, hingga tata manajemen yang memerlukan perbaikan segera," ungkap Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia di sela kunjungannya di Monumen Pers Nasional, Solo, seraya mengungkapkan peran penting AMI dalam mendorong manajemen museum yang komprehensif. Ia juga prihatin atas kondisi museum yang kurang kondusif di beberapa kawasan Indonesia, termasuk peristiwa hilangnya koleksi museum dan tata ruang museum yang kurang melindungi benda budaya di dalamnya.
"Sertifikasi sumber daya manusia kebudayaan dapat menjadi salah satu solusi dalam mewujudkan kualitas SDM permuseuman yang unggul. Namun, harus ditekankan, bahkan sertifikasi dilakukan oleh sebuah lembaga yang berkompetensi jelas untuk itu. Lembaga tersebut juga wajib memiliki payung hukum berikut tupoksi (tujuan, program dan aksi) yang terukur, terencana dan yang paling penting, dapat dipertanggungjawabkan. Peran para pakar juga perlu dipertimbangkan, sebagai pemberi masukan atas pedoman sertifikasi yang akan diterapkan. Akan tetapi, penilaian yang independen tetap dilakukan oleh lembaga tersebut," paparnya.
Selama ini, tambah Putu Rudana, kebijakan pengelolaan museum kerap kali tidak berlanjut sejalan. Dalam anjangsananya ke beberapa museum di Indonesia—tidak hanya di kawasan pesisir selatan pulau Jawa—Ketua Umum AMI menemukan adanya perbedaan pandangan regulasi permuseuman.
"Di museum swasta misalnya, visi dari pendiri kerap kali tidak beriring dengan gagasan para penerusnya yang sering mengarah pada pemanfaatan museum sebagai aspek ekonomi atau tujuan wisata saja. Padahal, niatan pendirian museum tersebut pada mulanya adalah untuk merawat warisan sejarah keluarga, karya seniman, ataupun nilai-nilai budaya tertentu. Ini mengakibatkan kurangnya koherensi program dan fokus perhatian atas museum secara menyeluruh," paparnya saat menyaksikan puluhan ribu koleksi batik di Museum Danar Hadi, Solo.
Ketidaksesuaian pandangan ini juga ditemukan di museum-museum negeri, terbukti dari sulitnya memperoleh dukungan bagi usaha perawatan dan perkembangan museum di daerah. Di beberapa provinsi, museum bahkan diposisikan marginal, dengan pos anggaran yang sangat minim dan habis hanya untuk kebutuhan operasional. "Hampir tidak ada pagu untuk usaha merawat koleksi, perbaikan ruang pamer, hingga meremajakan tampilan museum agar lebih memikat," ungkap Putu Rudana.
Menurutnya, atas dasar itulah AMI hadir sebagai jembatan komunikasi antara museum dengan stakeholders yang menaunginya. Dalam kurun hampir setahun periode jabatannya, Putu Rudana telah melakukan koordinasi intensif dengan beberapa pemangku kebijakan dan kepentingan, di antaranya Komisi X DPR-RI, Gubernur di Lampung, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan sebagainya, termasuk Direktur Utama Taman Mini Indonesia Indah dengan maksud untuk lebih memperhatikan museum-museum di daerahnya.
"AMI juga telah mengirimkan surat kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia agar museum-museum mendapatkan kepedulian yang lebih tinggi dari jajaran pemerintahan. Dalam waktu dekat, AMI juga akan beraudiensi dengan Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah RI dan Menteri Pariwisata RI. Agenda yang akan dibahas adalah strategi-strategi dalam lebih memuliakan museum sebagai rumah abadi peradaban, rumah tertinggi kebudayaan," imbuhnya.
Menghargai Sejarah
Muhibah budaya Ketua Umum AMI diawali dengan menghadiri Tasyakuran Peringatan 2 Tahun Berdirinya Memorial Jenderal Besar HM Soeharto di Yogyakarta. Acara tersebut diselenggarakan sekaligus untuk mengenang peringatan Serangan Umum 1 Maret yang dilangsungkan atas upaya Kolonel Soeharto dalam melawan Agresi Militer Belanda II pada tahun 1949.
Acara tersebut dibuka oleh putri Presiden Soeharto, Titiek Soeharto, ditandai dengan syukuran pemotongan tumpeng bersama jajaran pengelola Memorial Jenderal Besar HM Soeharto. Tampak pula masyarakat sekitar di Dusun Kemusuk Lor, Desa Argomulyo, Bantul yang turut hadir seraya memeriahkan kebersamaan.
Ketua Umum AMI secara khusus menyampaikan apresiasi dan penghargaannya atas museum yang meski baru berdiri selama dua tahun namun memiliki kesungguhan dalam merawat sejarah Indonesia.
"Kerja keras, kecintaan dan kesungguhan pengabdian para Presiden kita patut untuk diteladani. Bapak Soeharto misalnya, lahir di sebuah desa kecil di pinggiran Yogyakarta, ternyata mampu menempa dirinya sebagai patriot bangsa yang membanggakan, hingga menjadi Presiden dan Bapak Pembangunan yang karya-karyanya telah membawa berbagai manfaat bagi Nusa dan Bangsa. Demikian pula halnya dengan Bapak Presiden SBY, yang semangat, kegigihan dan kesederhanannya sangat terpancar tatkala AMI mengunjungi rumah masa kanaknya di Pacitan," ungkap Putu Rudana.
Kota Pacitan terletak di pesisir selatan Jawa, terbilang jauh dari kota besar Surabaya ataupun Yogyakarta. Perjalanan ke kota itu ditempuh dari DIY selama kurang lebih tiga jam, melintasi hutan pulau Jawa di wilayah Wonosari, Wonogiri hingga tiba di Pacitan.
"Tidak terbayangkan, bagaimana Pak SBY sewaktu muda melalui pendidikannya hingga SMA di kota kecil Pacitan, namun kemudian terpanggil mengabdikan diri sebagai prajurit. Meskipun kota itu terbilang terpencil, akan tetapi kesadaran keindonesiaan Pak SBY boleh dibilang telah sedemikian tinggi, didorong oleh kegigihan dan kesungguhannya mengabdikan diri demi Indonesia. Lain dari itu, kesederhanaan dan kejujuran, nilai dasar yang tumbuh dalan diri Beliau, tetap teguh dilakoni, hingga mengantarkannya sebagai salah satu pemimpin besar dunia yang dipujikan," tambah Putu Rudana.
Ketua Umum AMI juga menyaksikan secara langsung kamar tidur Pak SBY di rumah keluarganya di Pacitan. Ukurannya tidak seberapa luas, hanya sekitar 1,5 x 2,5 meter. Tidak ada perlengkapan apapun di dalamnya, selain sebuah dipan sederhana dan lemari kayu kecil. Di sanalah Pak SBY tidur selama menempuh pendidikan sampai SMA di Pacitan. Konon, di kamar itulah tumbuh cita-cita Pak SBY untuk memimpin negeri ini.
Pak SBY lahir di Desa Tremas, Pacitan (Jatim), 9 September 1949. SBY adalah putra tunggal pasangan Hj.Siti Habibah dan R.Soekotjo. Rumah di Tremas tempat SBY lahir dan ari-ari ditanam, sudah lama dihibahkan untuk warga dan dijadikan musala. Sebagai putra prajurit, SBY kecil sering ditinggal tugas. Ayahnya prajurit ABRI sehingga sering berpindah tugas.
Kelas 1 hingga 4 SD, SBY yang oleh kerabat dan teman dekatnya disapa Soes, bersekolah di Desa Kebonagung. Menginjak kelas 5, sang ayahanda menjabat Komandan Koramil Nglorok, Pacitan. Mengingat medan Nglorok yang berbukit-bukit tak ada sekolah SMP, Soes dititipkan di rumah Watini, salah satu bibinya, di Desa Ploso ini.
Sebelumnya, Watini juga sudah mengasuh beberapa keponakan lainnya. Suaminya, Sastro Soejitno adalah lurah Desa Ploso selama 40 tahun.
Dalam sebuah wawancara yang terangkum di media, Watini menyebutkan bahwa seperti anak-anaknya yang lain, SBY juga mendapat tugas rumah. "Setiap mau berangkat sekolah, dia harus menimba air untuk mandi dan cuci bajunya sendiri. Dia juga membersihkan kamar sendiri. Soes juga enggak mau diistemewakan, kok. Pernah, saya kasih lauk lebih banyak dari yang lain, dia menolak. Akhirnya saya kasih lauk sama semua. Yang lain tempe sepotong, Soes juga sepotong."
Sejak kecil, menurut Watini, SBY suka sekali membaca. "Ada secarik bacaan tergeletak pun dipungut, lalu dibaca. Biasanya setiap kali makan, Soes selalu bawa bacaan. Kadang membaca di kamar sambil minum teh dan makan kacang. Dia juga suka belajar di kamar. Kalau sudah belajar, dia lama enggak mau ke luar."
SBY pernah meraih gelar Master in Management dari Webster University, Amerika Serikat tahun 1991. Lanjutan studinya berlangsung di Institut Pertanian Bogor, dan di 2004 meraih Doktor Ekonomi Pertanian. Pada 2005, SBY memperoleh anugerah dua Doctor Honoris Causa, masing-masing dari almamaternya Webster University untuk ilmu hukum, dan dari Thammasat University di Thailand ilmu politik.
SBY juga meraih lulusan terbaik AKABRI Darat tahun 1973, dan terus mengabdi sebagai perwira TNI selama 27 tahun. SBY mendapat pangkat Jenderal TNI pada tahun 2000. Sepanjang masa itu, SBY mengikuti serangkaian pendidikan dan pelatihan di Indonesia dan luar negeri, antara lain Seskoad, pernah pula menjadi dosen, serta Command and General Staff College di Amerika Serikat.
Dalam tugas militernya, SBY menjadi komandan pasukan dan teritorial, perwira staf, pelatih dan dosen, baik di daerah operasi maupun markas besar. Penugasan itu di antaranya, Komandan Brigade Infanteri Lintas Udara 17 Kostrad, Panglima Kodam II Sriwijaya dan Kepala Staf Teritorial TNI.
Selain di dalam negeri, SBY juga bertugas pada misi-misi luar negeri, seperti ketika menjadi Chief Military Observer United Nations Peace Keeping Operations (CMO UNPKO) dan Komandan Kontingen Indonesia di Bosnia Herzegovina pada 1995-1996.