Mengunjungi Museum Minyak dan Gas Bumi di TMII, Jakarta Timur
Museum layaknya menyimpan berbagai sejarah. Begitu pula dengan Museum Minyak dan Gas Bumi Graha Widya Patra, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Sayangnya, museum tersebut kini tampaknya kurang mendapatkan perhatian.
Kondisi gedung yang sempat menjadi idola beberapa tahun lalu, saat ini sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, jangankan dikunjungi tamu negara yang berlibur ke TMII, bahkan masyarakat biasa pun tidak lagi menoleh tempat tersebut.
Padahal, museum yang berdiri sejak 1989 silam, merupakan potret dan sejarah bagi bangsa Indonesia dalam menemukan sumber minyak. Tidak hanya itu, di museum itu tergambar bagaimana sulitnya mengeluarkan minyak dari dalam perut bumi dengan hanya bermodal peralatan tradisional yang tentunya jauh berbeda dari saat ini.
Kamis (5/2) pagi lalu, Jambi Ekspres sempat mengunjungi museum itu dalam rangka memenuhi undangan mengikuti acara Workshop Media Pertamina Se Sumbagsel 2015. Tiba di Jakarta, sejumlah awak media yang diundang diajak untuk makan siang. Usai itu, perjalanan dilanjutkan menuju Museum Minyak dan Gas Bumi yang
berlokasi di TMII.
Sejumlah awak media diberi kesempatan menyaksikan Theater Migas. Usai menyaksikan theater itu, dipandu oleh Kabag Peragaan Museum, Budi Setiawan, awak media melihat alat peragaan. Dalam kesempatan itu pria paruh baya yang mengenakan kemeja putih dengan celana hitam menceritakan kondisi museum.
Dia menerangkan fungsi dari beberapa alat peraga. Dalam kesempatan itu, dia menyampaikan, sejak 2003, Museum itu tak mendapatkan perhatian lagi. "Sekarang sudah tidak ditoleh lagi, saya menceritakan ini kepada teman-teman media supaya pemerintah terkait melihat kondisi ini," ujarnya.
Dengan menggunakan pengeras suara kecil warna hitam yang ditempelkan di pipi sebelah kanannya, Dia menceritakan sejak 2015 karyawan yang berjumlah 40 orang belum menerima gaji. Padahal gaji yang seharusnya mereka terima tersebut juga jauh dari Upah Minimum Regional (UMR) DKI Jakarta yakni Rp2,7 juta per bulan.
"Kami sampai sekarang belum dibayar. Gaji kami jauh dibawah UMR, jumlahnya tidak bisa Saya sebutkan. Tapi kami selalu bersemangat untuk mengurus gedung ini karena sejarah dan pentingnya bagi generasi anak muda," katanya.
Disebutkannya, gedung itu sangat penting bagi sejarah Indonesia. Dimana di dalam museum itu menceritakan semua proses dalam penemuan minyak mentah serta pengambilannya dari perut bumi dengan menggunakan alat tradisional hingga modern.
Bahkan awak media bisa melihat kondisi alat peraga dan proses pengambilan serta penemuan minyak bumi dalam gedung itu. Miris, hampir dari separuh alat peraga terlihat sudah mendekati kata-kata "usang". Tentu hal itu tidak sebanding dengan nama besar perusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia.
Bahkan, tempat diletakkannya alat peraga itu juga sudah rapuh dimakan rayap dan ada juga yang jebol karena dimakan usia, serta kurangnya perawatan. "Kami tidak memiliki dana untuk merawatnya. Jangankan itu, gaji kami yang kecil juga belum dibayar," ucap Budi.
Satu demi satu ruangan di museum itu didatangi. Di dinding ruangan, digambarkan proses penemuan minyak pertama di Indonesia yakni di Cibodas pada Desember 1871 oleh pengusaha di Cirebon yakni Jan Reerink. Kemudian, berlanjut kepada penggunaan minyak yang saat itu dimanfaatkan sebagai obat tradisional dan alat barter bahan pakaian dengan pedagang China.
Tidak hanya tu, di dinding yang sudah digambar juga menceritakan pada abad ke 16 para pelaut Aceh memanfaatkan minyak mintah untuk membakar kapal Portugis. Kemudian pada ababd ke 13 masyarakat daerah Cepu menggunakan cairan kental kekuningan itu sebagai penerang ruangan dengan menggunakan wadah.
Seiring dengan perkembangan zaman, minyak bumi digunakan sebagai alat penggerak transportasi. Namun, saat itu pengambilannya menggunakan alat tradisional. Mulai dari jumlah yang sedikit hingga secara besar-besaran atau komersil pada 1885 di Telaga Said, Sumatera Utara. Selanjutnya 1939 pekerja menggali tanah sedalam ratusan meter dengan alat sederhana, bahkan masuk ke dalam lobang tersebut tidak dilengkapi oksigen seperti saat ini.
Museum itu juga menggambarkan betapa kayanya alam Indonesia akan minyak bumi. Namun, kami tidak bisa bercerita banyak karena waktu yang dibatasi hingga pukul 15.00 WIB. Jelang akhir pertemuan itu, Budi juga menjelaskan kondisi itu berlangsung sejak adanya peralihan pengendali museum.
Dimana sejak berdiri pada gedung itu dibawah kendali PT Pertamina (Persero). Namun, akhir 2013 pemerintah menyatakan bahwa Pertamina harus fokus ke bisnis perminyakan dan harus meninggalkan pengelolaan gedung itu. Oleh karenanya, museum diserahkan ke Kementerian ESDM RI dan pengelolaannya oleh Dirjen Migas pada 2004.
Sejak itu, museum kurang mendapat perhatian, sehingga membuat para pengunjung tidak lagi berminat untuk mengunjungi bagian dari sejarah penting Bangsa Indonesia itu. "Dulu sebelum 2013 akhir kami sangat jaya disini. Museum dikunjungi oleh setiap tamu Negara. Sekarang ini kondisinya hidup segan mati tak mau," tukasnya.
Menurutnya, untuk pengelolaan gedung itu hanya membutuhkan dana Rp100 juta per bulan yang sudah termasuk gaji serta perawatan alat peraga. Tentu hal itu baginya tidak sulit jika Pemerintah mau memperhatikan. "Perusahaan minyak di Indonesia ada berapa, minta sumbangan setiap perusahaan 10 juta saja per bulan sudah mencukupi. Saya rasa itu tidak berat bagi perusahaan," paparnya.
Uang yang dikeluarkan itu juga sebanding dengan penggunaannya. Sebab, sejarah harus selalu dikenang dan perlu diketahui generasi penerus agar menjadi bahan pembelajaran dimasa akan datang. Kondisi gedung yang penuh dengan sejarah ini sangat perlu diperhatikan dan dijaga.
"Ini sangat penting untuk bangsa kita," pungkasnya. (*)
Sumber : jambiekspres.co.id
ARTIKEL TERKAIT :
- Museum Kecil Terkendala Barang Kuno di Ruang Koleksi Pameran
- Audiensi Bersama Gubernur Lampung : Perhatian Terhadap Museum Harus Terus Ditingkatkan