50 TAHUN MONUMEN NASIONAL: Peran, Posisi, dan Pengelolaannya
Oleh :Nunus Supardi (Pemerhati budaya)
1. Siapa penggagasnya?
Mengawali uraian ini perlu disinggung tentang siapa penggagas TUNAS/MONAS. Hal ini penting untuk meluruskan adanya beda pendapat dalam mendudukkan siapa pun orangnya pada posisi yang sebenarnya. Masyarakat perlu mengetahui sejarah TUNAS/MONAS secara lengkap dan yang sebenar-benarnya, karena masih banyak orang yang belum tahu siapa penggagasnya. Di dalam berbagai terbitan, seperti dalam buku "Tugu Nasional: Laporan Pembangunan" (1978) dan "Monumen Nasional: Monumen Keagungan Perjuangan Bangsa Indonesia" (1996), "30 Tahun Indonesia Merdeka" (1997) serta "Medan Merdeka Jantung Ibukota RI" karya A.Heuken SJ yang menguraikan tentang pembangunan TUNAS, nama penggagas itu sama sekali tidak disebut.
Dalam koran Jawa Pos tahun 1976, mantan Walikota Jakarta Sudiro (1953-1958) menulis artikel dengan menyatakan bahwa "Gagasan besar tidak mesti datang dari orang besar". Di dalam tulisan itu dicontohkan tentang gagasan pembangunan TUNAS/MONAS bukan digagas oleh orang besar melainkan oleh orang biasa. Pendapat yang sama diulang
lagi dalam "Memoir" yang dimuat dalam buku "Karya Jaya" (1977) diterbitkan oleh Pemda DKI Jakarta. Pada halaman 103 buku Sudiro menulis bahwa penggagas berdirinya TUNAS datang dari kalangan warga Jakarta biasa bernama SARWOKO MARTOKOE- SOEMO, adik Mr. Sartono yang membela Bung Karno ketika diadili di Pengadilan Bandung.
Sebagai warga Jakarta yang memiliki kepekaan tentang sejarah perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, Sarwoko sangat memimpikan kota Jakarta sebagai Ibukota Negara memiliki simbol perjuangan bangsa sebagaimana dimiliki bangsa-bangsa lain. Simbol yang diwujudkan dalam bentuk tugu dipandang sangat tepat bila ditempatkan di lapangan Merdeka yang telah menjadi saksi sejarah. Sebagai penggagas, ia menyampaikan gagasan itu kepada Walikota Sudiro, dan Sudiro amat terkesan dengan gagasan itu. Sudiro menyarankan agar Sarwoko menemui beberapa orang tokoh dan segera membentuk sebuah Panitia. Oleh Sudiro gagasan itu disampaikan kepada Bung Karno, dan ternyata Bung Karno juga sangat mendukung gagasan itu.
Dalam suatu kesempatan bertemu dengan Bung Hatta, Bung Karno merundingkan mengenai realisasi gagasan itu. Seperti dikisahkan oleh Sudiro, kesempatan itu datang setelah Bung Karno selesai memimpin upacara peringatan 10 tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1955 yang diselenggarakan di Istana Merdeka. Karena peringatan itu tergolong istimewa, para pembesar segera menuju tempat proklamasi, Jln. Pegangsaan Timur 56 Jakarta, untuk meletakkan karangan bunga. Bung Karno dan Bung Hatta berangkat bersama-sama dalam satu mobil - suatu kejadian yang terasa aneh untuk masa sekarang, dua pemimpin dalam satu kendaraan. Ketika tiba di tengah-tengah lapangan Merdeka, Bung Karno memerintahkan mobil berhenti. Di tempat itu Bung Karno menjelaskan kepada Bung Hatta tentang gagasan untuk mendirikan Tugu Nasional. Menurut hemat kami nama Sarwoko sebagai penggagas pertama dibangunnya
TUNAS perlu mendapatkan tempat dalam sejarah TUNAS/MONAS. Nama Sarwoko tercatat dalam kepanitiaan memang hanya sampai tahun 1959. Setelah itu namanya tidak disebut lagi. Tetapi apakah dengan demikian nama Sarwoko sebagai penggagas hilang begitu saja? Mestinya tidak. Meskipun gagasan pendirian TUNAS kemudian berubah nama
menjadi pendirian MONAS, nama pengagas tetap melekat pada nama baru itu. Bung Karno sendiri telah memberikan penjelasan panjang lebar tentang perubahan nama itu, yang pada intinya nama MONAS adalah TUNAS itu sendiri plus dengan taman yang mengelilinginya.
Dalam hal penyiapan rancang bangun, peran Bung Karno amat besar mulai dari menggagas tujuan, misi, arti, bentuk arsitektur, bahan yang digunakan, komponen bangunan hingga hal-hal penting lainnya. Semua arahan Bung Karno dikembangkan oleh Ir. Soedarsono, terutama ketika menerjemahkan permintaan Bung Karno agar TUNAS betul-betul bersifat nasional dan berkepribadian nasional. Nama Bung Karno tidak dapat dipisahkan dari TUNAS, seperti dikatakan dalam pidato Prof. Ir. Roosseno pada pengukuhan Bung Karno memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari ITB. Bung Karno telah berjasa dalam perencanaan Tugu Nasional yang menjadi lambang kemerdekaan kita, dan mengandung pula stempel kepribadian Bung Karno.5 Rancangan ini dinilai sebagai salah satu karya arsitektur yang mengekspresikan romantisme terhadap bangsa Indonesia. Yang menjadi pertanyaan, jika Sarwoko sebagai penggagasnya, lalu Bung Karno dan juga nama Ir. Soedarsono sebagai apa? Jawaban atas pertanyaan seperti ini, pernah disampaikan oleh wartawan Solichin Salam kepada Umar Wirahadikusumah selaku Ketua Harian Panitia MONAS tahun 1960. Menurut pernyataan Umar Wirahadikusumah, Bung Karno adalah pembawa ide bangunan MONAS yang selanjutnya oleh Ir. Soedarsono
dijabarkan dalam bentuk desain Monas. Oleh karena itu menurut Umar, Ir. Soedarsono adalah arsitek pelaksana dari ide-ide Bung Karno.7 Sesuai pengakuan Ir. Soedarsono dan Prof. Roosseno posisi beliau adalah membantu merealisasikan ide dan gagasan Bung Karno.8 Sementara itu menurut Edhi Sunarso pematung yang menerjemah ide-idenya, Bung Karno memiliki jiwa patriotik yang luar biasa. Jiwanya selalu bergelora untuk masa depan Indonesia. Beliau selalu ingin sesuatu yang monumental".
2. Latar Belakang Peran
Langkah awal yang dilakukan untuk merealisasikan gagasan pendirian TUNAS adalah membentuk Panitia Tugu Nasional. Tahun 1954 dibentuk Panitia dan Sarwoko ditetapkan sebagai ketua, dibantu beberapa orang termasuk Walikota Sudiro menjadi Pembantu Umum, dan Bung Karno menjadi Pelindung Panitia. Untuk mendapatkan rancangan yang sesuai dengan misinya, Panitia mengadakan sayembara. Tanggal 17/2/1955 diadakan sayembara pertama, diikuti oleh 51 peserta. Yang didapat hanya pemenang kedua, karya Ir. F. Silaban.
Setelah 5 tahun Panitia bekerja, hasilnya dinilai kurang memuaskan. Dengan Surat Keputusan Presiden No. 214, tanggal 30 Agutus 1959 dibentuk panitia baru dengan nama baru, yaitu Panitia Monumen Nasional (MONAS). Penggantian nama "Panitia Tugu Nasional" menjadi "Panitia Monumen Nasional", mencerminkan adanya perubahan konsep tentang TUNAS. Dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa penggantian itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Pertama, TUNAS mencerminkan jiwa perjuangan penegak semangat patrotik dan mempertinggi kemegahan Revolusi Kemerdekaan Rakyat Indonesia. Kedua, bahwa di dalamnya harus disediakan ruangan untuk menyimpan Bendera Pusaka dan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ketiga, mengingat penting dan luasnya tugas Panitia dalam mendirikan monumen nasional sebagai milik nasional. Keempat, pengosongan lapangan Merdeka yang penguasaannya berada di tangan banyak lembaga tidak mungkin dapat diatasi oleh Panitia yang ada.
Berdasarkan pertimbangan itu anggota dalam kepanitian yang baru ditambah jumlahnya. Yang ditunjuk sebagai Ketua Ex Officio merangkap anggota adalah Komandan KMKB Jakarta Raya sebagai, ditambah dengan Henk Ngantung sebagai anggota. Sedangkan nama-nama dalam Panitia terdahulu hanya nama Sarwoko yang masih ikut, menjadi Ketua Harian merangkap anggota. Setelah Panitia bekerja selama 2 tahun lebih 2 bulan 2 hari, Panitia disempurnakan lagi dengan Keputusan Presiden No. 16 tanggal 8 Oktober 1961. Jumlah anggotanya bertambah banyak dari 8 orang menjadi 19 orang. Selain itu, Presiden RI terjun langsung memimpin Panitia MONAS, didampingi wakil dari MPRS, sejumlah Menteri, Kepolisian, Gubernur Jakarta, Bank dan pengusaha. Seluruh anggota Panitia sebelumnya termasuk Sarwoko sebagai penggagas dan sebagai Ketua Panitia pertama tidak lagi masuk ke dalam Panitia yang baru.
Ketika gagasan itu akan direalisasikan banyak kritikan ditulis di surat kabar. Antara lain ditulis, masih banyak gang becek di Jakarta, mengapa kita memikirkan tugu-tuguan? Akan lebih baik kalau kita punya uang, gang becek itu yang diperbaiki. Terhadap kritikan ini Bung Karno menjawab, bahwa masalah gang becek tetap menjadi kewajiban kita untuk memperbaiki. Tetapi untuk secara visual bangsa Indonesia memiliki satu tanda kebesaran sangat diperlukan. TUNAS menjadi pilihan.
Kritikan juga dari Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Chrushchov. Ketika bertemu di Tampak Siring, Bali (1960) Bung Karno menceritakan rencana pendirian TUNAS. Chrushchov yang tahu kondisi bangsa Indonesia saat itu berkomentar: "kalau orang sedang telanjang maka yang harus didahulukan adalah beli celana, dan bukan sedang telanjang yang didahulukan beli dasi". Mendengar sindiran itu dengan cepat Bung Karno menangkis: "Lha, pada waktu rakyat Soviet Uni sedang telanjang, sedang menderita, rakyat di Samarkan kelaparan, mengapa Soviet Uni mendirikan monumen-monumen dan lambang-lambang?" Setelah mendengar tangkisan Bung Karno yang jitu itu Chrushchov membenarkan bahwa TUNAS bagi bangsa Indonesia adalah "celana" juga.
Dari balik berbalas sindir itu kita dapat menangkap konsep pemikiran Bung Karno dalam membangun media untuk memajukan bangsanya. Dalam upaya memenuhi kebutuhan "celana" itu Bung Karno turun tangan langsung menyampaikan konsep dan ide bangunan MONAS (bentuk dan detil arsitekturnya), dan makna simbol-simbol yang melekat dalam bangunan TUNAS. Tidak hanya itu, Bung Karno juga turun tangan langsung mengawasi proses pembangunannya: "...saya tiap hari melihat berlangsungnya pekerjaan itu, bahkan lebih daripada tiap hari, melainkan tiap jam, tiap-tiap menit, saya melihat perintah saya itu dikerjakan, dijalankan, dilaksanakan dengan gesit, maka saya merasa puas".10 Bung Karno mencurahkan hampir seluruh perhatiannya ke pembangunan TUNAS, melebihi perhatiannya ke pembangunan Mesjid Istiqlal yang bersamaan waktunya. Tugu sebagai bentuk dasar bangunan menjadi pilihan yang tepat untuk
memvisualisasi berbagai simbol keindonesiaan kita. Secara detil Bung Karno menguraikan: "MONAS harus melambangkan revolusi kita, mencerminkan kepribadian Indonesia, menggambarkan dinamik Indonesia, mencerminkan cita-cita Indonesia, melambangkan api yang berkobar di dalam dada kita, dan harus tahan 1000 tahun.MONAS harus menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia: "Jiwanya, hatinya, rohnya, kalbunya, harus menjulang tinggi ke langit laksana TUNAS sekarang ini. Bahkan sepuluh kali, seratus kali, seribu kali tingginya kita punya kehendak, kita punya cita-cita kita punya tekad untuk meneruskan revolusi ini. Pada bagian lain Bung Karno menengaskan bahwa Tugu Nasional akan membawa dinamika kita, kenasionalan kita, kepribadian kita, revolusi kita, cita-cita kita, cipta kita. Pendeknya, tugu itu menggambarkan kepada kita sendiri dan kepada dunia umum bahwa bangsa Indonesia benar-benar bangsa yang besar. Dengan bermodal uang sumbangan masyarakat sebesar Rp. 5.884.162.000,00,13 pada tanggal 17 Agustus 1961 Bung Karno memancangkan tiang pertama. Tahun 1965 terjadi pemberontakan G30S/PKI terhadap pemerintah. Buntutnya rakyat menuntut agar Presiden Soekarno membubarkan partai PKI. Karena Bung Karno dinilai cenderung melindungi PKI, muncul desakan agar Bung Karno meletakkan jabatan. Dalam rangka mendesak Bung Karno mundur, pembangunan TUNAS dijadikan salah satu isu negatif. Pembangunan TUNAS dinilai menyengsarakan rakyat dan dicap sebagai salah satu "proyek mercusuar" dalam arti negatif. Bahkan konon sempat terlontar "yel-yel" para demonstran untuk membongkar TUNAS. Proyek itu telah "memakan" perancangnya. Pembangunan TUNAS/MONAS pun sempat tersendat, tetapi kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Suharto.
Bila dirangkum dari sekian ide tentang latar belakang pembangunan TUNAS/MONAS, maka peran yang utamanya adalah TUNAS dijadikan media merubah pola pikir masyarakat terjajah yang bermental "kuli", "jongos", "inlander" menjadi bangsa yang bermartabat dan berkarakter Indonesia. Bangunan ini menjadi salah satu wahana dalam proses "menjadi Indonesia" (Nation and Character Building). TUNAS/MONAS memiliki multimisi dan memiliki simbol-simbol lahirnya sebuah bangsa yang diidamidamkan oleh Bung Karno. TUNAS/MONAS menggambarkan: revolusi bangsa Indonesia kepribadian Indonesia, sifat dinamis bangsa Indonesia, cita-cita bangsa Indonesia, menyalanya api semangat patriotik bangsa, tingginya karya cipta bangsa, kebesaran dan kejayaan bangsa, yang mampu menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa, akan mampu berumur 1000 tahun, sehingga pada tahun 2960 TUNAS menggambarkan Indonesia jaman sekarang.
3. Rencana Pengembangan
Secara teknis, fisik bangunan TUNAS/MONAS memang tampak selesai seperti yang kita lihat sekarang. Tetapi bila dicermati, masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu mendapatkan perhatian secara serius. Pertama, masih ada beberapa komponen yang belum terwujud. Di empat sudut gerbang masuk ke Ruang Museum Sejarah seharusnya berdiri 4 patung: sebelah Timur Laut, kelompok patung perebutan kekuasaan dan penjajahan Jepang; sebelah Tenggara: kelompok patung Pahlawan 10 November 1945; sebelah Barat Daya: kelompok patung pembentukan TNI; sebelah Barat Laut: kelompok patung kebulatan NKRI. Konon, tertundanya pemasangan 4 patung tersebut karena belum adanya kesepakatan tema. Ada pula pihak yang mengusulkan agar di empat sudut dibangun kelompok patung yang menggambarkan: (1) jaman keemasan; (2) jaman penjajahan; (3) jaman revolusi fisik; dan (4) jaman pembangunan. Mungkin karena masih ada bagian yang belum diselesaikan, hingga kini TUNAS/MONAS belum pernah diremikan oleh Kepala Negara.
Kedua, sejak awal sudah direncanakan penataan bangunan di sekeliling TUNAS yang akan mendukung keberadaan TUNAS. Oleh Bung Karno peran bangunan-bangunan tersebut digambarkan akan "ngerangkul" dan orang akan kagum jika "melihat tugu yang dahsyat itu". Bangunan pendukung itu masih belum seluruhnya terwujud. Pembangunan Perpustakaan Nasional yang direncanakan di Jl. Medan Merdeka Selatan justru dipindahkan ke Jl. Salemba menempati eks gedung Yayasan KAWEDRI. Pembangunan Wisma Seni di Jl. Medan Merdeka Timur yang telah dirancang sejak tahun 196115
berjalan tersendat dan belum juga terwujud karena belum mendapatkan "restu" dari pengambil keputusan. Bila hal ini dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan rencana itu akan gagal. Demikian pula halnya dengan pembangunan Museum Nasional di Jl. Medan Merdeka Utara jalannya masih tertatih-tatih dengan lahan yang amat terbatas. Terlambatnya penyelesaian pembangunan TUNAS dan bangunan pendukungnya mencerminkan makin menurunnya perhatian terhadap eksistensi TUNAS yang memiliki misi penting itu.
Ketiga, masalah koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pengembangan TUNAS dan sekitarnya antara pemerintah Pusat dengan Pemda DKI tampak belum ada keterpaduan. Dalam rangka penataan MONAS Pemda DKI Jakarta pada tahun 1992 telah menyampaikan rencana kepada Presiden Soeharto. Dasar pertimbangan yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) MONAS pada tahun 1969 dikembangkan sebagai Taman Hiburan dan Pekan Raya (Jakarta Fair) pada tahun 1989 dipindahkan ke Kemayoran; (2) Letak MONAS yang strategis sangat penting artinya bagi Jakarta sebagai Ibukota Negara, pusat pemerintahan dan kenegaraan serta menyimpan benda bersejarah; (3) MONAS telah menjadi tempat tujuan wisata utama dan untuk itu perlu dilakukan penataan agar lebih menarik.
Setelah dipresentasikan di depan Presiden pada tanggal 9/1/1993, dan disusun rancangannya, kemudian ditetapkan dalam Keppres No. 25 tahun 1995, tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka. Tujuannya adalah untuk melindungi dan mengembangkan kawasan Monumen Nasional yang dalam hal ini tidak hanya TUNAS tetapi seluruh Kawasan Medan Merdeka. Secara garis besar kawasan ini dibagi menjadi Zona Inti yang disebut juga Ruang Agung dan Zona Luar, disebut Taman Kota. Ruang Agung adalah ruang inti, ditata sebagai ruang terbuka hijau, tanpa pohon untuk memperkuat keberadaan TUNAS agar tampak menonjol. Sementara Ruang Luar atau Taman Kota ditanam pohon-pohon yang rapat/lebat ditata untuk membentuk dan memperkuat keberadaan Ruang Agung. Dengan demikian keberadaan TUNAS didukung oleh Taman Medan Merdeka menjadi lebih sakral.
Adapun komponen bangunan baru dalam rencana pengembangan terdiri atas berbagai bangunan pendukung. Renacana pengembangan dibagi 4 sektor: (1) Sektor Utara untuk upacara kenegaraan, defile dan parade yang bersifat nasional; (2) Sektor Selatan untuk wisata Botani dengan berbagai tanaman dari 27 provinsi dan panggung terbuka dan parkir
bawah tanah dan fasilitas kaki lima; (3) Sektor Timur, pusat kegiatan bisnis dan ekonomi, parkir bawah tanah; (4) Sektor Barat untuk kegiatan Olah Raga dan Rekreasi dan lorong penyeberangan bawah tanah. Selain itu akan dibangun Galeri/Museum Bawah Tanah.
Disebutkan dalam perencanaan itu bahwa Ruang Agung berfungsi sebagai Ruang Orientasi MONAS, sewaktu-waktu dapat dipakai untuk kegiatan budaya. 16 Ini berarti pengembangan untuk ruang ini harus hati-hati, didasarkan pada suatu pertimbangan yang matang dan konseptual. Pengembangan tidak semata-mata pada kepentingan keindahan dan daya tarik tetapi mengarah pada "kesakralan" sebuah monumen nasional.
Pengembangan harus sejalan dengan UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya. Setelah 16 tahun, keberadaan Keppres dan rencana pengembangan itu tampaknya belum ada tindak lanjut yang kongkrit. Pengembangan yang pernah dilakukan justru menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Misalnya ketika dilakukan pemagaran keliling Taman MONAS. Demikian pula halnya "pengembangan" dengan menghilangkan pagar "bambu runcing" dan menghapus ruang terbuka hijau di Zona Inti (1) TUNAS, diganti dengan taman baru. Padahal, sejak dari awal taman di kaki TUNAS dirancang mendatar, sebagai ruang terbuka hijau, tanpa pohon untuk memperkuat keberadaan TUNAS agar tampak menonjol. Sesuai dengan pesan Bung Karno, TUNAS/MONAS harus menggambarkan kepiribadian dan perjuangan bangsa, pagar keliling dibuat dalam bentuk "bambu runcing". Dalam buku Monumen Nasional (National Monument) tahun 1996 dijelaskan bahwa: "...Tugu Monumen Nasional yang berpagar "Bambu Runcing", mengingatkan pada model senjata bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan".17 Kini, pagar "bambu runcing" dan "taman datar yang hijau" itu tidak ada lagi.
4. Pengelolaan
Setelah bangunan "selesai", pengelolaan TUNAS/MONAS berada di bawah Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Dengan peran dan posisi penting serta langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pemda DKI selama pembangunannya, maka diputuskan pengelolaan Tugu Nasional diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta. Berita Acara Serah Terima hasil pembangunan TUNAS antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Prof. DR. Daoed Joesoef) dengan Gubernur DKI Jakarta (Tjokro Pranolo) tanggal 26/8/1978. Ada 3 hal yang dimuat dalam Berita Acara Serah Terima tersebut adalah sbb.:
a. semua biaya pemeliharaan dan penyempurnaan TUNAS dibebankan kepada hasil penerimaan Tugu Nasional; b. jika ada kekurangan keperluan tersebut pada punt a di atas, akan ditanggung bersama oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; c. hal-hal yang berhubungan dengan pembinaan berada di bawah Panitia Pembina Tugu Nasional.
Yang dimaksud dengan Panitia Pembina Tugu Nasional adalah pengganti Panitia MONAS yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 116, tgl. 8/10/1961. Panitia Pembina ditetapkan dengan Keppres No. 314/1968, dengan susunan sebagai berikut: (1) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ketua merangkap anggota; (2) Gubernur/KDH DKI Jakarta
Raya, Wakil Ketua mengangkap anggota; (3) Pejabat yang ditunjuk Menteri Dikbud, sebagai Sekretaris merangkap anggota; (4) Pejabat yang ditunjuk Menteri Keuangan, sebagai Bendahara merangkap anggota: (5) Anggota: - Wakil Sekretariat Negara/Sekretariat Kabinet; - Wakil Departemen PUTL; - Wakil Departemen Hankam; dan - Wakil Lembaga Pariwisata Nasional.
Bagian menarik dari perjalanan pengelolaan Tugu Nasional adalah tidak berfungsinya Panitia Pembina seperti yang tercantum pada butir (c) Berita Acara. Panitia Pembina tidak berfungsi dan tidak pernah pernah memberikan fungsi pembinaan terhadap jalannya pengelolaan Tugu Nasional. Sebagai sebuah aset Nasional yang memiliki misi penting
dalam membangun karakter bangsa seharusnya lembaga semacam Panitia Pembina tetap ada dan mendampingi pemda DKI dalam melaksanakan tugasnya. Dalam pelaksanaan pengelolaan TUNAS/MONAS kebijakan yang ditempuh oleh
Pemda DKI Jakarta adalah menyerahkan tanggung jawab kepada sejumlah dinas (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan; Dinas Pertamanan; Dinas Penerangan Jalan Umum (PJU); Dinas Ketertiban dan Keamanan; Dinas Kebersihan; Dinas Pekerjaan Umum dll). Khusus kepada Dinas Periwisata dan Kebudayaan diberikan tugas untuk membina Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD/Eselon III)18 dengan nomenklatur Unit Pengelola Monumen Nasional. Sebagai bandingan Museum Nasional yang juga berskala nasional dipimpin oleh pejabat setingkat Eselon II/b. Selain itu, karena pertimbangan lokasi TUNAS/MONAS yang berada di wilayah Jakarta Pusat, Pemda Jakarta Pusat beserta jajaran suku dinasnya juga ikut terlibat dalam pengelolaan MONAS.
Dari sepintas gambaran tentang keterlibatan berbagai dinas, suku dinas dan UPTD dari pemeritah Pusat DKI Jakarta maupun Walikota Jakarta Pusat, dapat dibayangkan kompleksnya masalah pengurusan TUNAS/MONAS. Posisi Kepala UPTD MONAS tidak seimbang dengan posisi dan peran yang dimiliki oleh sebuah Monumen Nasional. Apalagi hanya didukung sejumlah karyawan (sekitar 54 orang) yang rata-rata tidak memiliki latar belakang pengetahuan dan keterampilan yang dapat mendukung misi MONAS sebagai media pembangunan kebanggaan nasional dan karakter bangsa.
Kini MONAS telah berusia setengah abad. Bila dilihat secara fisik MONAS telah menjadi monumen yang menambah wibawa Jakarta sebagai Ibukota Negara. Tetapi apakah MONAS sudah menjalankan misi idealnya seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno?
Apakah orang-orang yang datang ke MONAS sama seperti bangsa-bangsa lain ketika datang ke sebuah monumen nasionalnya dengan penuh kebanggaan, hormat dan bahkan ada yang menganggap sebagai tempat sakral?
Bila diukur dari jumlah pengunjung MONAS setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun menunjukkan peningkatan. Tetapi banyaknya pengunjung tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan misinya. Ada kecenderungan para pengunjung datang ke MONAS lebih mengutamakan kepentingan berekreasi semata. Mereka datang lebih mengutamakan keperluan bermain, jalan-jalan dan makan di Taman atau menaiki puncak TUNAS untuk menikmati pemandangan kota Jakarta dari ketinggian 100 m.
Kehadiran tamu negara ke MONAS belakangan ini cenderung tidak diagendakan. Pada awal difungsikan sejumlah tamu negara telah berkunjung, seperti: Perdana Menteri Australia Mac Mahon (1972), Presiden AS Richard M. Nixon (1973), Perdana Menteri Australia Gough Whitlam (1973), Ratu Inggris Elizabeth II (1974), Raja Baudouin (1984), dll. Bukankah MONAS dibangun untuk menunjukkan wajah Indonesia kepada bangsa-bangsa lain tentang kebesaran bangsa?
Gaung kenasionalannya belum mampu merasuki jiwa, hati, roh, kalbu, yang membuat rakyat Indonesia memiliki tekad dan cita-cita yang menjulang tinggi ke langit laksana TUNAS, seperti yang diucapkan Bung Karno. Dalam usia ke-50 tahun kondisi bangsa justru sedang mengalami krisis rasa kebangsaan (nasionalime). Semangat bersatu untuk berjuang membela rakyat yang dulu terbukti menjadi kekuatan yang dahsyat sehingga mampu mengusir penjajah yang lebih kuat, kini sedang mengalami keretakan. Rasa bangga sebagai bangsa besar telah memudar. Dalam berbagai hal kita sedang berada di "persimpangan jalan". Bung Karno telah lama mengingatkan bahwa kita akan menghadapi "persimpangan jalan" itu. Diingatkan oleh Bung Karno tatkala memberi nama dan meresmikan "jalan silang" Monumen Nasional, kita harus kuat, tidak boleh ragu-ragu, harus berani mengambil keputusan, berani mengambil sikap setipa kita menghadapi persilangan jalan.
TUNAS/MONAS adalah sebuah "ruang kelas" atau "buku terbuka" bagi siapa pun untuk belajar memahami arti kemerdekaan, merah-putih, Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, perjalanan sejarah perjuangan bangsa, dll. Bangunan ini menjadi salah wahana dalam proses "menjadi Indonesia" (Nation and Character Building). Tetapi dalam kenyataan keberadaannya belum sesuai dengan yang dicita-citakan Bung Karno. Setelah pengunjung keluar dari kompleks MONAS belum mengatakan: "Yes, the Indonesian people are great people. Yes, the Indonesian people are becoming a great people again", seperti yang pernah diucapkan Bung karno.
5. Penutup
Dari uraian selintas di atas dapat disimpulkan bahawa masih ada beberapa bagian dari sejarah pembangunan TUNAS yang yang kini menjadi lambang karya budaya bangsa perlu diluruskan dan digali lebih dalam, sehingga dapat disusun sejarah TUNAS/MONAS secara benar dan lengkap. Peran dan posisi masing-masing individu yang terlibat dalam
pembangunan TUNAS dapat dikemas menjadi "daya tarik" keberadaan TUNAS/MONAS. Peran dan posisi Sarwoko sebagai penggagas dan Bung Karno sebagai perancang serta cerita-cerita sampingan lainnya perlu diangkat ke permukaan. Untuk merealisasikan misi dan perannya masalah kualitas tenaga pengelola TUNAS harus menjadi prioritas utama, terutama kemampuan majerial dan teknis dalam menerjemahkan misi TUNAS yang berskala nasional, sumber inspirasi dan mampu membangun kebanggaan sebagai bangsa. TUNAS menjadi salah satu media untuk membangun rasa kebangsaan.
Mengenai konsep pengembangan TUNAS/MONAS perlu dirancang secara matang dan tidak bertentangan dengan misinya sebagai monumen dan wahana untuk membangun karakter bangsa. Rencana pengembangan yang lebih menitikberatkan pada fungsi rekreasi dan bisnis perlu dikaji ulang. Bagian bangunan yang belum terwujud seperti pembangunan patung di empat sudut, penambahan ruang untuk lobi, ruang edukasi, perluasan ruang pamer Museum Sejarah, ruang kantor pengelola perlu diprioritaskan. Segala kelemahan tentang keberadaan TUNAS/MONAS dalam hal konsep, kebijakan dan strategi pengelolaan perlu ditangani secara serius.
Selanjutnya, mengenai pengelolaan TUNAS/MONAS perlu ada peninjauan kembali. Perlu ada pembenahan dan penataan ulang yang mendasar. Jika pengelolaan TUNAS/MONAS menjadi tanggung jawab Pemda DKI Jakarta maka keberadaan Panitia Pembina Tugu Nasional perlu dihidupkan kembali. Penataan ulang itu perlu diperkuat dengan Keputusan Presiden sebagai landasan. Tidak cukup hanya dengan Berita Acara Serah Terima antara Mendikbud dan Gubernur DKI Jakarta, tanggal 26-8-1978.
Alternatif lain, mengingat sejak dari awal TUNAS/MONAS adalah simbol kebesaran dan kebanggaan bangsa yang agung dan berskala nasional maka seyogyanya TUNAS/MONAS dikelola oleh pemerintah Pusat bersama Pemda, sehingga keberadaan
TUNAS benar-benar mencerminkan milik bangsa. Di beberapa negara pengelolaan monumen nasional berada di bawah lembaga Pusat yang mengurus kebudayaan atau institusi non-pemerintah.21 Pelaksanaan pengelolaan dilakukan oleh suatu Dewan/Badan khusus (quasi-goverment) yang anggotanya terdiri atas tokoh masyarakat dan budayawan dari unsur pemerintah (Pusat dan Pemda DKI) dan dunia usaha.
Salah satu cara untuk memosisikan TUNAS sebagai milik bangsa, dapat pula dengan cara melibatkan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah Pusat dan Daerah (setiap provinsi dan kabupaten/kota) dan dunia usaha, misalnya menjadi penyumbang dana untuk melanjutkan pembangunan dan mengelola TUNAS/MONAS. Untuk mencapai tujuan menempatkan TUNAS/MONAS pada posisi yang sesungguhnya diperlukan suatu keputusan politik, sehingga langkah penataan memiliki landasan yang kuat. Tantangan ke depan bagi Pemda DKI setelah menerima penyerahan pengelolaan TUNAS/MONAS 33 tahun yang lalu semakin berat perlu dibantu.
Selamat Ulang Tahun ke-50 TUNAS/MONAS. Semoga tahun 2960 masih tetap tegak berdiri.
Jakarta, 18 September 2011
Bahan Bacaan:
1. A. Heyken AJ, Medan Merdeka Jantung Ibukota RI, 2008
2. Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta (1945-1966), Pemda DKI
Jakarta 1977
3. Makalah Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta pada seminar
Pengembangan Museum Prasasti, 2005
4. Mieke Susanto (ed), Edhi Sunarso: Seniman Pejuang, PT Hasta Kreatifa Manunggal,
Yogyakarta, 2010
5. Monumen Nasional (National Monument): Monumen Keagungan Perjuangan Bangsa
Indonesia, Pemda DKI Jakarta1996
6. Nunus Supardi (dkk), Sejarah Kelembagaan Kebudayaan di Pemerintahan dan
Dinamikanya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004
7. Solichin Salam, Tugu Nasional dan Soedarsono, Kuning Mas, Jakarta, 1989, hal. 31
8. Transkripsi Pidato Peresmian Jalan-Silang Monas 16/8/1964/Arsip Nasional: No. 634
9. Transkripsi Pidato Pelantikan Panitia Sejarah, 3 Januari 1964/Arsip Nasional
10. Transkripsi Pidato Penyerahan Penghargaan Pemenang Sayembara, 17/11/1960
11. Tugu Nasional, Pemda DKI Jakarta, 1997
12. Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek, Komunitas Bambu 2005
*) Makalah ini disampaikan pada Seminar 50 Tahun Monumen Nasional di Ruang Sejarah Tugu Monumen Nasional, Jakarta, 26 September 2011
**) Nunus Supardi pernah menjabat Sekretaris Ditjen Kebudayaan, Direktur Purbakala, dan Sekretaris Utama Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Sekarang, di samping sebagai Sesjen di Badan Kerjasama Kebudayaan Indonesia (BKKI), juga aktif organisasi Lingkar Budaya Indonesia (LBI), dan sekarang sebagai Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF).