SELAMAT JALAN PAK AMIR
(5 Maret 1928—1 Juni 2013)
Nunus Supardi
Anggota Dewan Pakar Asosiasi Museum Indonesia
Sekitar pukul 07.50 saya menerima telepon dari Pak Luthfi Asiarto yang mengabarkan bahwa sedang dalam penjalanan menuju Taman Kedawung, Tangerang Selatan, akan menjenguk Bpk. Drs. Mohammad Amir Sutaarga (biasa disapa Pak Amir) yang dirawat di RS Kurnia Bakti Husada Pondok Cabe. Pukul 08.10 Pak Luthfi kembali menelepon, memberitahukan bahwa Pak Amir pukul 08.05 dipanggil Sang Khalik. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Telah kembali kepada-Nya, Pak Amir beristirahat dengan tenang di Menes, Banten, berdampingan dengan makam isteri dan putranya.
Nama Pak Amir setelah berhenti menjabat Direktur Permuseuman tahun 1984, dan pensiun dari jabatan dosen Universitas Indonesia 1993, memang tidak lagi dikenal orang, terutama di kalangan muda. Tetapi bagi kalangan budayawan, khususnya di kalangan masyarakat museum, nama Mohammad Amir Sutaarga masih tetap melekat dalam ingatan. Segera, setelah berita duka itu tersiar berdatangan anak-anak didik beliau ke rumah duka untuk menyampaikan ucapan belasungkawa seraya mendoakan semoga segala kekhilafannya diampuni dan diterima di sisi-Nya.
Bapak Permuseuman Indonesia
Dalam beberapa tulisan, Pak Amir sering mengganti nama aslinya menjadi Anak Gunung (suta = anak, dan arga = gunung) atau Ibnu Jabal (suta = ibnu dan arga = jabal). Sejak beliau bekerja di lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) tahun 50-an seluruh hidupnya diabdikan untuk kemajuan permuseuman di Indonesia. Meskipun sejak kecil bercita-cita belajar perkapalan di Belanda, tetapi setelah bertemu dengan van der Hoop, seorang ilmuwan yang bekerja di BGKW, Pak Amir jatuh cinta dengan museum.
Saat itu Pak Amir menjabat sebagai sekretaris Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Kepala BGKW. Setelah Prof. Hoesein mengundurkan diri, Pak Amir tampil menggantikannya menjadi kepala lembaga terbesar di Asia, BGKW. Tugas berat yang dipikul oleh Amir muda adalah bagaimana mengurus museum BGKW (yang kini menjadi Museum Nasional) secara mandiri, dalam segala hal, tanpa didampingi ahli dari Belanda lagi. Banyak masalah dan hambatan yang harus dihadapi, terutama terbatasnya SDM dan anggaran.
Ketika menghadapi kesulitan anggaran yang serius, Pak Amir sempat berselisih faham dengan sekretarisnya, Moh. Ghozali. Seperti dikisahkan oleh Ajip Rosidi dalam bukunya ”Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari” di hal. 280, ketika dalam kesulitan itu Pak Amir mengusulkan agar Museum BGKW dibubarkan saja dan diserahkan kepada pemerintah. Usul itu ditolak keras oleh Ghozali. Peristiwa itu menyebabkan hubungan keduanya mengalami ketegangan hebat. Ketika Ghozali sakit dan dirawat di rumah sakit, semula Pak Amir tidak mau menjenguknya. Berkat pendekatan Ajip, Pak Amir mau menjenguk dan ternyata mereka berdua bukan bersitegang lagi tentang nasib BGKW melainkan bercandaria karena keduanya suka ”ngebodor” alias pandai bercerita lucu. Sebelum Dedy Mizwar membuat film berjudul ”Kentut”, Pak Amir telah menerbitkan buku berjudul ”Perang Kentut”. Buku yang membuat pembaca tertawa terpingkal-pingkal.
Mengenai masalah pembubaran BGKW (yang kemudian berganti nama menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia/LKI) seperti yang diusulkan Pak Amir akhirnya terlaksana. Tahun 1962 Museum BGKW/LKI dibubarkan, dan seluruh asetnya dialihkan menjadi milik pemerintah. Namanya diganti menjadi Museum Pusat di bawah Jawatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Nama Museum Pusat mulai tahun 1980 diganti menjadi Museum Nasional hingga sekarang.
Sebagai kepala BGKW, Pak Amir tidak hanya mengurus museum saja, tetapi juga merintis pengembangan museologi (ilmu museum) di Indonesia. Buku-buku Capita Selekta Museografi dan Museologi (jilid I, II dan III), Persoalan Museum di Indonesia, Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum karya Pak Amir telah menjadi buku pegangan bagi karyawan dan mahasiswa yang belajar museum. Karena dinilai sebagai satu-satunya orang yang mendalami museologi saat itu, maka dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI/LIPI) pertama di Malang tahun 1958, Pak Amir diundang untuk bicara tentang museologi di depan para peserta. Karena pengetahuan tentang museum yang amat luas, Pak Amir sering disebut-sebut sebagai Kamus Hidup Permuseuman.
Salah satu keinginan yang hingga kini belum terwujud adalah berdirinya Akademi Museum untuk mendidik dan mengembangkan museologi di Indonesia. Dalam sebuah tulisannya di tahun 1962, Pak Amir membuat pantun yang mencerminkan besarnya tekad Pak Amir memajukan permuseuman Indonesia. Pantun dalam bahasa Sunda itu berbunyi: sapandjang djalan soreang / moal weleh diaspalan / sapandjang tatjan kasorang / moal weleh diakalan. Jadi, sepanjang tujuan itu belum tercapai, harus terus diperjuangkan.
Selain menulis teori museologi, Pak Amir juga menjadi perintis berdirinya museum-museum baru di Indonesia. Tidak hanya mendirikan Museum Negeri Provinsi di setiap provinsi saja, tetapi juga mendorong berdirinya museum-museum pemerintah daerah dan museum-museum pribadi. Salah satu museum pribadi yang kini tambah berkembang maju adalah museum milik Pande Suteja Neka di Ubud yang berdiri tahun 1985. Jumlah museum di Indonesia kini telah meningkat, dari 46 museum di tahun 80-an, menjadi hampir 300 museum.
Ketika tahun 1955 berkunjung ke Paris, Pak Amir menemui pembesar-pembesar UNESCO yang mengurus museum, meminta agar dikirim tenaga ahli untuk membantu pengembangan museum di Indonesia. Dikirimlah seorang ahli museum Jhon Irwin dari Victoria & Albert Museum di London. Hasilnya, Jhon Irwin menyarankan agar dibangun museum nasional yang dapat menggambarkan keanekaragaman budaya Indonesia, membentuk dinas-dinas museum serta melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga museum. Berkat bimbingan Prof. Dr. IB Mantra sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan dan masukan dari Jhon Irwin, ketika memasuki pembangunan lima tahun pertama (1969) Pak Amirlah yang meletakkan dasar-dasar pembangunan bidang museum.
Selain menumpahkan seluruh perhatiannya pada bidang museum, Pak Amir juga rajin menulis kebudayaan dan menerjemahkan buku. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia antara lain: Perempuan di Titik Nol (Woman at Point Zero, karya Nawal El Saadawi), Petualangan Ibnu Batutu (Ross E Dunn) Penghidupan dalam Zaman Prasejarah di Indonesia (HR. Van Heekeren), dll.
Sepak terjang Pak Amir dalam memajukan permuseum di Indonesia telah menarik perhatian Komunitas Jelajah, sebuah organisasi kaum muda yang mencintai peristiwa-peristiwa sejarah. Untuk menghargai perjuangan Pak Amir pada tahun 2012 yang lalu komunitas itu menyelenggarakan acara Malam Anugerah Purwakalagŗha (Museum Awards). Orang pertama yang menerima penghargaan itu adalah Pak Amir, yang sekaligus dianugerahi sebutan Bapak Permuseuman Indonesia. Suatu penghargaan yang sangat pantas bagi Pak Amir yang telah mengabdikan dirinya sepanjang hayat untuk kemajuan museum di Indonesia.
“Ilmu kantong bolong”
Dalam perbincangan sambil makan kue ulang tahun ke-85 tahun bulan Maret yang lalu (lahir di Kuningan, Jawa Barat, 5 Maret 1928), Pak Amir mengisahkan tentang “ilmu kantong bolong”. “Ilmu” itu lahir dari sosok seorang punakawan dalam pewayangan bernama Petruk yang digambarkan memiliki prinsip hidup tidak peduli dengan uang dan kekayaan. Seperti kantong yang berlubang (bolong), Petruk alias Kantong Bolong, hidup dengan apa adanya.
“Ilmu” itu dijadikan pegangan hidup Pak Amir. Dicontohkan, pada saat menjabat sebagai Direktur Museum bila ada penguasaha dan pejabat museum dari daerah yang memberikan upeti selalu ditolaknya. Menurut Pak Amir, anggaran museum itu kecil sekali. Kalau kemudian dana yang kecil itu dipotong dan potongan itu diberikan kepada beliau, lalu hasilnya seperti apa? Pak Amir juga mengagumi pendapat ahli museum Dr. PV van Stein Callenfels yang menyatakan bahwa sarjana museologi adalah seorang pekerja ilmiah yang harus cinta pada kebenaran dan kejujuran.
Berkat ilmu itu beliau merasa tenang dalam menjalani sisa hidup, meskipun tinggal di rumah sederhana yang lokasinya diujung jalan buntu di kompleks perumahan Kedawung Indah, Tangerang Selatan. Di kalangan masyarakat Jawa posisi rumah seperti itu disebut “tusuk sate”, dan selalu dihindari karena diyakini akan memberikan pengaruh tidak baik bagi penghuninya. “Saya tidak peduli dengan tusuk sate. Nyatanya sampai sekarang saya baik-baik saja. Ya tho...”, kata beliau sambil tertawa.
Perbincangan 3 bulan yang lalu itu ternyata adalah pertemuan terakhir kami dengan beliau. Kemarin kita kehilangan seorang tokoh bidang museum. Dengan wajah yang tenang dan bersih seperti sedang tibur Pak Amir menghadap Yang Maha Tahu bersama dengan ilmu ”kantong bolong”-nya Petruk. Suatu teladan yang sangat pantas untuk ditiru. Selamat jalan Bapak Permuseuman Indonesia.
Nunus Supardi
Asosiasi Museum Indonesia (AMI)