Komunitas Muda, Museum dan Masyarakat:
Sinergi Membangun Kebudayaan, Memaknai Sejarah Bangsa
Kemeriahan terpancar dalam Pekan Literasi Asia Afrika 2015 yang digelar di Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung (14/02). Puluhan anak-anak tampak antusias mengikuti kegiatan story-telling yang dilangsungkan oleh Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika (SMKAA) di dalah satu ruang pamer museum. Enam anak muda, rata-rata masih duduk di bangku kuliah, dengan penuh semangat membawakan sebuah cerita rakyat Jawa Barat yang diperagakan dalam akting lucu memikat.
Aktivitas story telling di Museum KAA
Aktivitas bercerita atau story telling tersebut merupakan salah satu program yang rutin digelar oleh komunitas anak muda Bandung yang tergabung dalam SMKAA. Berdiri sejak 2011, komunitas ini merangkul berbagai kalangan generasi muda untuk bersama-sama menghidupkan museum melalui serangkaian kegiatan yang edukatif dan apresiatif, seperti pendidikan bahasa asing, kelas film, kelas baca, hingga public education corps yang terdiri dari puluhan anak muda yang intens melakukan pendampingan kunjungan dan penjelasan informasi atas koleksi museum berikut nilai sejarah di dalamnya.
Siswa berbagai sekolah bermain dan belajar bersama di Museum KAA |
Thomas Ardian Siregar selaku Kepala Museum KAA mengungkapkan semangat pendirian SMKAA yang digagas oleh kepala museum terdahulu, Isman Pasha (periode 2008-2012), dengan fondasi konsep community development dan participatory public untuk mengembangkan KAA melalui jejaring komunitas. Sebagai apresiasi atas upaya merangkul komunitas dalam penyelenggaraan program serta mendorong partisipasi masyarakat terhadap museum, belum lama ini Museum KAA bahkan mendapat penghargaan dari Komunitas Jelajah sebagai Friendly Museum.
"Ini juga sebagai pengakuan masyarakat atas peran SMKAA, yang selalu muncul dengan ide-ide kreatif serta produk-produk baru yang makin menarik minat masyarakat mengunjungi museum. Misalnya, pada tahun 2014 mereka membentuk Young Crafter Club dan Kelompok Studi Asia Afrika (KSAA). Tahun 2015 juga bergabung komunitas mahasiswa internasional asal kawasan Afrika dengan SMKAA, diberinama Young African Ambassadors in Asia (YAAA)," ungkap Thomas.
Suasana Pameran Pekan Literasi Asia Afrika 2015 |
Milang Tahun SMKAA juga dirayakan dalam Pekan Literasi Asia Afrika tersebut, di mana mereka diberikan kesempatan khusus untuk lebih memperkenalkan komunitasnya kepada hadirin maupun pengunjung dalam acara. Della Oktavia Rakhmat, selaku Koordinator Eksekutif SMKAA mengungkapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada Museum Konpresensi Asia Afrika yang secara intens memberikan dukungan bagi Sahabat Museum yang terdiri dari berbagai kalangan mahasiswa di berbagai universitas di Bandung tersebut.
"Sintesa dari berbagai elemen masyarakat telah membawa SMKAA pada titik ekuilibrium antara Museum KAA dengan masyarakat. Titik itu adalah 'pintu gerbang menuju ruh kreatif dari Nilai-nilai KAA yang lahir dari Dasasila Bandung," jelas Della yang telah meneruskan regenerasi SMKAA pada Yovina Omega Supratman dalam seremonial pada pembukaan Pekan Literasi Asia Afrika 2015.
Ketua Umum AMI dan Direktur Eksekutif AMI mengunjungii stand pameran komunitas-komunitas SMKAA
Putu Supadma Rudana, Ketua Umum AMI mengungkapkan rasa bangganya pada generasi muda yang memiliki kecintaan tinggi pada permuseuman Indonesia. Ia juga berkesempatan mengunjungi berbagai stand pameran yang dibuat oleh komunitas-komunitas tersebut, secara berdialog bersama mereka. Menurutnya, keberadaan komunitas juga mengingatkan kita pada esensi kehadiran museum sebagai wadah dari masyarakat, oleh masyarakat dan sejatinya diperuntukan pula bagi masyarakat.
Berfoto bersama Public Education Corps, salah satu komunitas di bawah naungan Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika |
"Komunitas merupakan salah satu pilar penting dalam upaya memajukan, menggaungkan serta memasyarakatkan museum kita. Mereka harus diberikan perhatian, pendampingan serta bimbingan yang berkelanjutan, sejalan dengan upaya mewadahi kreativitas mereka yang tiada pernah habisnya. Indonesia juga terlahir dari semangat-semangat generasi muda pada masa itu, yang tecermin dari berkobarnya rasa kebangsaan dalam setiap aktivitas kepemudaan, baik pertemuan berbagai intelektual muda ataupun penerbitan media massa yang juga digalang oleh anak-anak muda. Hal ini membuktikan, bahwa dalam sejarah, termasuk pula sejarah Bandung sebagai Kota Perjuangan, para pemuda selalu ambil bagian," ungkapnya di sela kunjungan ke pameran kreativitas SMKAA di salah satu bagian Museum KAA, Bandung.
Selayang Pandang Museum Konferensi Asia Afrika
Terilhami oleh kehendak untuk mengabadikan Konferensi Asia Afrika 1955 yang merupakan tonggak terbesar keberhasilan politik luar negeri Indonesia, ketika jiwa, semangat, dan pengaruhnya menyebar ke seluruh dunia terutama bumi Asia Afrika dan Negara-negara Nonblok, serta terdorong oleh keinginan sejumlah pemimpin Asia Afrika untuk mengunjungi Kota Bandung, maka lahirlah gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. untuk mendirikan Museum Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Gagasan tersebut dilontarkan dalam forum rapat Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika tahun 1980 yang dihadiri antara lain oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Soebadio sebagai wakil dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gagasan tersebut mendapat sambutan baik terutama dari Presiden Republik Indonesia Soeharto. Sejak itu, salah satu aktivitas Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika adalah mewujudkan gagasan tersebut.
Gagasan pendirian Museum Konferensi Asia Afrika diwujudkan oleh Joop Ave, sebagai Ketua Harian Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika dan Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, bekerjasama dengan Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat, dan Universitas Padjadjaran. Perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh PT Decenta, Bandung. Museum Konferensi Asia Afrika diresmikan berdirinya oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980, sebagai puncak Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika.
Pada 18 Juni 1986, kedudukan Museum Konferensi Asia Afrika dialihkan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ke Departemen Luar Negeri di bawah pengawasan Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri. Pada tahun 2003 dilakukan restrukturisasi di tubuh Departemen Luar Negeri dan Museum Konferensi Asia Afrika dialihkan ke Ditjen Informasi, Diplomasi Publik, dan Perjanjian Internasional (sekarang Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik). Saat ini, UPT Museum Konferensi Asia Afrika berada dalam koordinasi Direktorat Diplomasi Publik. Museum ini menjadi museum sejarah bagi politik luar negeri Indonesia.
"Kami memiliki koleksi-koleksi terpilih yang menggambarkan perjalanan perjuangan bangsa-bangsa Asia Afrika dalam mewujudkan kesetaraan serta perjuangan melawan kolonialisme. Semuanya tertata dalam ruang pameran tetap serta ruang auditorium utama yang menampilkan diorama Konferensi Asia Afrika yang berlangsung tahun 1955. Museum ini juga dilengkapi dengan ruang multimedia, perpustakaan, hingga kafe di sisi samping bangunan museum," ungkap Thomas Ardian Siregar.
Di dalam Museum Konferensi Asia-Afrika terdapat komunitas masyarakat yang dibentuk atau didukung oleh Museum Konferensi Asia-Afrika. Berbagai komunitas masyarakat ini di bentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai sejarah, politik internasional, wawasan kebangsaan mengingat tentang yang dihadapi dalam politik luar negeri Indonesia di masa yang akan datang, dalam diplomasipublik maupun diplomasi antar waraga (citizen diplomacy). Beberapa kegiatan yang diselenggarakan bekerjasama dengan komunitas diantaranya: Diskusi Buku, Diskusi Film, berbagai Festival, Klab Budaya, Pameran, dan lain-lain.
Untuk memfasilitasi program-program komunitas dalam mewujudkan solidaritas masyarakat Asia Afrika, Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) telah membentuk Sahabat Museum Asia Afrika, atau yang disingkat SMKAA (Friends of Asian African Museum). SMKAA diresmikan tanggal 11 Februari 2010 di Gedung Merdeka, Bandung dan beranggotakan komunitas di seluruh Asia Afrika dan pemerhati Asia Afrika. Sebagai hasil jalinan kerja sama dengan sejumlah komunitas, MKAA yang berbasis pada konsep Participatory Museum, memiliki sejumlah program publik dengan mengedepankan SMKAA sebagai event management untuk seluruh kegiatan di Museum Konferensi Asia Afrika.
Di sepanjang tahun 2012 SMKAA telah menyelenggarakan sejumlah program edukasi publik yang terbuka untuk umum dan gratis. Di antaranya berupa kegiatan Tadarussan Buku dan Bioscoop Concordia. Bagi para peminat buku, SMKAA bekerja sama dengan Asian-African Reading Club menggelar Program Tadarussan Buku di Ruang Audiovisual Museum KAA setiap hari Rabu, pukul 17.00 hingga pukul 20.00. Sedangkan bagi pecinta film, Program Bioscoop Concordia di setiap Selasa pukul 13.00 hingga 17.00 bisa menjadi pilihan yang menarik untuk diikuti. Program yang juga digelar di Ruang Audiovisual Museum KAA ini merupakan hasil kerja sama SMKAA dan Layar Kita.
Tak hanya itu, SMKAA juga terdiri berbagai komunitas klab budaya seperti Klab Budaya Jepang Heiwa, Klab Budaya China Ni Hao, Klab Budaya Timur Tengah Nahnu Arabiyun, Klab Budaya Afrika Utara Maghribi, Klab Bahasa Esperanto Ruga Furmiko, Klab Budaya Sunda Sampurasun, Klab Menulis Angkatan Kata Antar Benua, Klab Menggambar E-Dos SMKAA, Klab OpenSource CopyLeft SMKAA, dan Corps Public Educator SMKAA. Dengan bergabung dalam klab budaya ini, para generasi muda tidak hanya menambah pengetahuan mereka mengenai sejarah Konferensi Asia Afrika namun juga dapat memperluas pergaulan mereka dalam suatu wadah yang terdiri atas komunitas dengan minat yang serupa.
Gedung Merdeka Bandung, Saksi Sejarah
Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia Afrika Bandung ini, pada tahun 1895, hanya berupa bangunan sederhana. Bangunan yang mempunyai luas tanah 7.500 meter persegi itu, menjadi tempat pertemuan "Societeit Concordia", sebuah perkumpulan beranggotakan orang-orang Eropa, terutama Belanda yang berdomisili di Kota Bandung dan sekitarnya.
Pada 1921, bangunan yang diberi nama sama dengan nama perkumpulannya tersebut, yaitu Concordia, dirombak menjadi gedung pertemuan "super club" yang paling lux, lengkap, eksklusif, dan modern di Nusantara oleh perancang C.P. Wolff Schoemaker dengan gaya Art Deco. Dan tahun 1940, dilakukan pembenahan pada gedung tersebut agar lebih menarik, yaitu dengan cara merenovasi bagian sayap kiri bangunan oleh perancang A.F. Aalbers dengan gaya arsitektur International Style. Fungsi gedung ini adalah sebagai tempat rekreasi.
Pada masa pendudukan Jepang, bangunan utama gedung ini berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan yang digunakan sebagai pusat kebudayaan. Sedangkan bangunan sayap kiri gedung diberi nama Yamato yang berfungsi sebagai tempat minum-minum, yang kemudian terbakar (1944).
Setelah Proklamasi Kemerdekan Indonesia (17 Agustus 1945), gedung ini dijadikan markas pemuda Indonesia menghadapi tentara Jepang dan selanjutnya menjadi tempat kegiatan Pemerintah Kota Bandung. Ketika pemerintahan pendudukan (1946 – 1950), fungsi gedung dikembalikan menjadi tempat rekreasi.
Menjelang Konferensi Asia Afrika, gedung itu mengalami perbaikan dan diubah namanya oleh Presiden Indonesia, Soekarno, menjadi Gedung Merdeka pada 7 April 1955.
Setelah terbentuk Konstituante Republik Indonesia sebagai hasil pemilihan umum tahun 1955, Gedung Merdeka dijadikan Gedung Konstituante. Ketika konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, gedung ini dijadikan tempat kegiatan Badan Perancang Nasional (Bapenas) tahun 1959, kemudian diubah menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dari tahun 1960-1971. Pada 1965, di gedung tersebut berlangsung Konferensi Islam Afrika Asia.
Setelah meletus pemberontakan G30S tahun 1965, Gedung Merdeka dikuasai oleh instansi militer dan sebagian dari gedung tersebut dijadikan tempat tahanan politik. Pada 1966, pemeliharaan gedung diserahkan dari pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat, yang selanjutnya diserahkan lagi pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Bandung. Tahun 1968, MPRS mengubah surat keputusannya dengan ketentuan bahwa yang diserahkan adalah bangunan induk gedung, sedangkan bangunan-bangunan lainnya yang terletak di bagian belakang masih tetap menjadi tanggung jawab MPRS. Tahun 1969, pengelolaan gedung diambil alih kembali oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dari Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Bandung. Tahun 1980, seluruh gedung ditetapkan sebagai lokasi Museum Konferensi Asia Afrika.