Wawancara Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia
MUSEUM HARUS TERINTEGRASI DENGAN BANDARA
Jakarta - Di usia 40 tahun, komitmen Putu Supadma Rudana terhadap seni dan budaya tak perlu diragukan. Di tengah kesibukannya sebagai pengusaha di bidang pariwisata, ia juga memimpin President of The Rudana. Ini adalah institusi kebudayaan yang mewadahi Rudana Museum, Rudana Fine Art Gallery serta Rudana Art Foundation di Bali.
Tak heran bila peserta Pertemuan Nasional Museum Seluruh Indonesia di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, 23 Mei lalu, secara aklamasi kembali memilihnya untuk memimpin Asosiasi Museum Indonesia (AMI). Padahal sebelumnya sempat tersiar kabar Kepala Museum Nasional Intan Mardiana dan pemilik RAHMAT International Wildlife Museum & Gallery, Rahmat Shah sama-sama berminat untuk memimpin AMI
Bagaimana dia memandang arti penting museum? Apa pula program kerjanya sebagai Ketua Umum AMI? Berikut ini petikan bincang-bincang detikHOT dengan peraih MBA dari Webster University of St. Louis, USA itu di Bandara Raja Haji Fisabilillah belum lama ini.
Bagaimana Anda memaknai eksistensi museum?
Saya terpilih sebagai ketua umum AMI karena aspirasi anggota. Ini adalah tugas sekaligus tanggung jawab bagi saya, bagaimana terus memuliakan kebudayaan dan meluhurkan museum. Museum adalah wadah memori kultural bangsa. Melalui museum, beserta koleksi adiluhungnya, kita dapat mempelajari keagungan masa silam seraya menggagas kemungkinan masa depan tanpa lalai atau abai pada upaya menyikapi dan memaknai kekinian secara lebih kreatif.
Pada saat politik dan ekonomi tak bisa menjawab tantangan dunia, kebudayaan melalui museum bisa memberi inspirasi lewat gagasan para leluhur kita. Ada banyak maestro di sana. Kita berkaca pada kejayaan Majapahit, Sriwijaya, misalnya.
Sayangnya kondisi kebanyakan museum amat memprihatinkan ya?
Sekarang ini ada 328 museum yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Memang harus diakui perlu pembenahan, di sisi display, keterampilan para penglolanya, perawatan koleksinya, marketing-nya. Karena itu kita perlu melakukan suatu sinergi dengan berbagai pihak.
Dengan jajaran Kementerian Perhubungan, khususnya bandara, misalnya. Bandara itu kan pintu gerbang utama masuknya turis Nusantara maupun mancanegara. Nah idealnya harus ada pusat informasi museum di sana. Keamanan di lingkungan airport itu nomor satu dan 24 jam. Karena itu museum harus terintegrasi dengan bandara. Beda dengan mal. Jadi saya bayangkan di setiap bandara internasional kita itu ada ruang khusus pusat informasi sekaligus dipajang karya-karya budaya luhur maestro kita.
Dari sisi pengelola pun masih dianggap sebagai tempat buangan, sehingga ada istilah dimuseumkan?
Nah itu harus diakui memang ya, kalau pengelola museum itu orang yang disingkirkan, buangan. Padahal seharusnya mereka itu justru dimuliakan.
Jadi, dalam jangka pendek apa saja yang akan Anda lakukan bersama AMI?
Kalau dari sisi teknis, kami ingin membenahi minimal website museum, ya. Ke depan juga saya lebih tingkatkan lagi baik dari sisi tampilan, koneksitas antar museum, maupun updating informasinya. Kami juga akan silaturahmi ke anggota AMI, kementrian-kementrian yang memiliki museum, juga dengan komunitas-komunitas. Ke depan saya ingin bikin nota kesepahaman dengan mereka. Mereka punya program apa, kita akan turut di situ sebagai fasilitator. Yang cari dana biar mereka, karena AMI tak punya anggaran besar, semua iuran dari anggota.
Untuk dana kenapa tidak memanfaatkan dana CSR swasta?
Kami ingin betul-betul mandiri dulu secara organisasi. Jangan dibiasakan belum apa-apa sudah meminta-minta dana dari luar. Kita solid dulu secara internal. Tunjukan kerja dan karya nyata kita, komitmen kita untuk majukan kebudayaan.
Belakangan ada wacana perlunya menteri kebudayaan...?
Secara politis, karena sekarang sudah memasuki masa kampanye pemilihan presiden, AMI juga berkepentingan menyampaikan aspirasinya kepada para calon presiden agar memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspek kebudayaan. Nah ini antara lain dengan mendorong adanya Kementerian Kebudayaan yang mandiri.
Nggak bikin gemuk birokrasi?
Hampir 50 persen negara di dunia punya kementrian kebudayaan yang mandiri, bukan nempel. Sekarang kan nempel di pendidikan, setelah sempat nempel dengan pariwisata dan ekonomi kreatif. Padahal cikal bakal konsep ekonomi, pendidikan, politik, itu diawali dengan gagasan keluhuran budi pekerti yang merupakan perwujudan kebudayaan.
Sumber : detikhot.com