Catatan dari Pertemuan Nasional Museum (1)
VIRTUAL MUSEUM VS MEMUSEUMKAN PEJABAT
Jakarta -Seorang kepala museum di salah satu provinsi di Sumatera cuma menggeleng saat ditanya apa saja koleksi menarik di tempatnya. Sama sekali tak ada gairah dalam dirinya saat diajak berbicara soal kondisi permuseuman di tanah air. "Maaf, saya baru sepekan jadi kepala museum," kata dia di sela-sela Pertemuan Nasional Museum Seluruh Indonesia, di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Kamis lalu.
Lebih lanjut, si kepala museum yang berkumis lebat itu lebih suka meratapi nasibnya yang seolah kurang dihargai lagi oleh atasannya. "Masa pensiun saya tinggal dua tahun lagi, eh malah dimuseumkan. Berarti sebentar lagi saya yang jadi koleksinya ha-ha-ha," ia tertawa getir.
Koleganya dari Jawa Tengah menimpali, dia lebih beruntung karena masih bisa menertawakan dirinya sendiri. Sebab ada pejabat lain yang akhirnya terkena stroke hanya karena dimutasi untuk memimpin museum di Sulawesi.
Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia menilai kenyataan itu sebagai salah satu fakta dalam pengelolaan museum di tanah air. Bila kepala museum masih dianggap sebagai posisi atau jabatan buangan, kata dia, bisa dipahami bila kondisi museum pada umumnya dalam situasi "hidup enggan mati tak mau".
Idealnya, pria kelahiran Cianjur, 16 Juni 1980, itu menyarankan museum dikelola oleh orang-orang berjiwa muda dan penuh kreativitas. "Biar gaul, aktif menebar informasi lewat media sosial seperti facebook, path, atau twitter," kata Asep yang menempuh pendidikan master bidang marketing communication dari Unviersitas Paramadina, Jakarta.
Ia juga menyarankan agar para pengelola museum kreatif mencari sumber-sumber pendanaan. Dana Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan dari kalangan swasta maupun BUMN di daerah sekitar, misalnya. "Ada perusahaan Korea dan Jepang yang sudah menyatakan komitmennya untuk membantu museum. Saya dan teman-teman sedang merintisnya," kata Asep.
Sebelumnya, saat menyampaikan pidato pembukaan, Direktur Jenderal Kebudayaan Prof Kacung Marijan menyerukan agar pengelola museum membuat aplikasi virtual untuk memperluas akses. Dengan virtualisasi, pelajar yang jauh dari museum tetap bisa mengakses koleksi-koleksinya. Pelajar tidak terhalang jarak untuk mempelajari capaian peradaban yang disimpan di museum.
Selain itu, untuk menata museum, sejak 2010 pemerintah telah menyiapkan dana revitalisasi yang mencapai ratusan miliar. Revitalisasi antara lain menyangkut perbaikan kondisi museum maupun penataan dan peningkatan kemampuan sumber daya yang terkait di dalamnya.
"Kita jangan sampai kalah dengan Turki yang museumnya lebih baik daripada Indonesia. Padahal perekonomian Turki lebih buruk dari Indonesia. Kita itu termasuk dalam 10 besar negara dengan perekonomian terbesar, "tuturnya.
Obsesi Kacung, menurut Asep bukan hal mustahil. Sebab dalam ajang museum week awal Mei lalu di Senayan City, Studio Anantarupa telah memperkenalkan proyek Virtual Reality Museum. Dengan memanfaatkan teknologi Oculus Rift, sebuah perangkat virtual reality berupa kacamata yang dipasang menutupi separuh wajah bagian atas. Di dalamnya, mata pengguna akan tertuju pada layar yang menampilkan gambar tiga dimensi dan memberikan respons sesuai arah pandangan berdasarkan sensor accelerometer dan gyroscope. Selain perangkat tersebut, masih ada penyuara kuping untuk mendengarkan narasi dari tampilan virtual reality tersebut.
Dilansir dari : detik.com