Ketua Umum AMI: Jangan Jadi Generasi Ahistoris!
Kebudayaan Nusantara kembali dimuliakan dengan dibukanya sebuah museum yang merekam jejak sejarah serta alam kultural Banten. Resmi didirikan pada 29 Oktober 2015, Museum Negeri Provinsi Banten menjadi wahana yang merawat dan melestarikan perjalanan historis provinsi ini, merangkum sejak zaman Kasultanan Banten Lama, pendudukan kolonial Belanda serta ragam artefak pasca kemerdekaan yang menggambarkan secara utuh dinamika sejarah kultural masyarakat setempat serta Indonesia secara luas.
Koleksi-koleksi yang terpajang masih akan terus dilengkapi dengan memperhatikan keluhuran khazanah arkeologis serta historis di Provinsi Banten. Karenanya, dalam peringatan peresmian museum tersebut, Gubernur Provinsi Banten, H. Rano Karno, SIP juga mengawal dimulainya Ekspedisi Sungai Cibanten yang bertujuan untuk menggali serta mengenali kembali peninggalan-peninggalan arkeologi berikut situs-situs bersejarah yang penting dilestarikan.
Selama kurang lebih lima hari, dari wilayah Banten Girang sampai Banten Lama, tim ekspedisi ini akan menyusuri Sungai Cibanten yang juga merupakan cikal bakal pendirian Kasultanan Banten, sebuah kerajaan penting di Nusantara. Selama lebih dari 3 abad, berawal dari tahun 1526 tatkala Kerajaan Demak memperluas wilayahnya melalui utusan perang yang dipimpin Maulana Hasanuddin, yang tidak lain adalah putra dari Sunan Gunung Jati. Berpusat di Istana Surosowan, Banten Lama, kasultanan ini berdiri dan meraih kejayaannya sebagai salah satu kerajaan maritim dengan wilayah kekuasaan sampai ke Lampung serta sebagian Jawa Barat.
Belakangan di tahun 1813 kerajaan ini runtuh, dihapuskan oleh Pemerintahan Inggris. Sebelumnya, pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Daendels yang berkuasa di wilayah Hindia Belanda memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sebelumnya, perang saudara dan pertikaian di dalam lingkup kerajaan terjadi berlarut-larut yang turut memperlemah posisi Kerajaan Banten sehingga dengan mudah dikuasai oleh VOC.
Museum ini didirikan di Pendopo Lama Karesidenan Banten, yang merupakan bagian dari wilayah kolonial Belanda. Bangunan yang berlokasi di pusat kota Serang ini berdiri dengan arsitektur khas Belanda yang terawat. Kendati baru diresmikan, museum ini sebelumnya telah dibuka untuk umum dengan jumlah pengunjung 5.325 orang per Oktober 2015. Museum Negeri Provinsi Banten berada dalam naungan Balai Budaya Banten yang merupakan UPTD Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten.
"Museum ini harus menjadi bagian dari masyarakat Banten, dengan dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi serta institusi terkait. Asosiasi Museum Indonesia juga terus berkomitmen untuk memajukan serta memuliakan permuseuman di seluruh daerah di Indonesia, melalui program dan sinergi yang menyeluruh dengan berbagai kalangan serta masyarakat secara luas. Khusus di wilayah Banten juga telah dibentuk Asosiasi Museum Indonesia Daerah Banten, yang menjadi jembatan komunikasi bagi museum-museum di provinsi ini. Kami berharap, kerjasama yang produktif dapat terbangun, dilandasi niatan tulus dan kesediaan untuk bekerjasama meluhurkan kebudayaan Nusantara," ujar Putu Supadma Rudana, Ketua Umum AMI, seraya menambahkan bahwa kini telah dibentuk 19 AMIDA dan AMIKA di seluruh Indonesia yang kini pro-aktif melakukan usaha edukasi permuseuman melalui berbagai program yang apresiatif.
Banten dalam Max Havelaar
Bagi khalayak yang telah membaca karya Douwes Dekker yang bernama samaran Multatuli tentu tidak asing lagi dengan latar bangunan pendopo lama ini. Salah satu bagian dari novelnya menyebutkan betapa bangunan karesidenan ini merupakan pusat dari ketidakadilan kolonial yang terjadi di Banten. Max Havelaar, sang tokoh utama yang ditugaskan menjabat sebagai perwakilan Belanda di Lebak, Banten, harus menghadapi sikap feodal dari para bupati setempat yang memeras keringat dan tanah para rakyatnya, sehingga secara khusus mengirimkan surat pengaduan kepada sang Residen yang bertempat di Serang. Namun, bukannya mengindahkan panggilan kemanusiaan Max Havelaar yang membela rakyat setempat, sang Residen malahan tidak ingin bermasalah dengan para bupati dan lebih memilih mencopot jabatan Max Havelaar.
Novel ini pun menjadi perhatian banyak pihak, bukan hanya di Indonesia pada awal abad ke-20, namun juga jauh hingga ke tanah Belanda, yang kemudian berujung pada kritik atas kolonialisme serta politik tanam paksa yang terjadi pada masa itu. Maka, dimulailah sebuah era yang mempengaruhi laju sejarah Indonesia kelak, yakni era politik etis yang membuka akses pendidikan serta berpolitik bagi kaum pribumi Hindia Belanda, kendati masih dalam tahapan dan lingkup yang terbatas bagi kalangan tertentu saja.
Menyadari hal tersebut, di sela acara peresmian museum, Ketua Umum AMI yang sore itu langsung bertandang ke acara seusai silaturahmi dengan penggiat permuseum di Bali dan Bandung, memberikan komentar tanggapannya.
"Lokasi pendirian museum ini adalah titik penting dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia," ujar Ketua Umum AMI, Putu Supadma Rudana. "Titik balik sejarah Indonesia ditandai oleh berbagai peristiwa, termasuk yang terjadi di tempat ini. Keberadaan Museum Negeri Provinsi Banten menjadi penanda, bahwa kita tidak boleh menjadi generasi yang ahistoris, apalagi apolitis, yang abai pada perjalanan sejarah bangsa serta tidak peka pada kondisi kenyataan di sekitar. Museum ini menjadi penanda lain juga, bahwa kebudayaan kita harus berdasar pada kemanusiaan, persaudaraan dan toleransi keberagaman yang hakiki," tambahnya.
Sejarah Kerajaan Banten
Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam yang terletak di Propinsi Banten. Mulanya, kerajaan Banten berada dibawah kekuasaan Kerajaan Demak. Namun, Banten berhasil melepaskan diri ketika mundurnya Kerajaan Demak. Pemimpin Kerajaan Banten pertama adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah pada tahun 1522-1570. Sultan Hasanuddin berhasil membuat Banten sebagai pusat perdagangan dengan memperluas sampai ke daerah Lampung, penghasil lada di Sumatera Selatan. Tahun 1570 Sultan Hasanuddin meninggal kemudian dilanjutkan anaknya, Maulana Yusuf (1570-1580) yang berhasil menakhlukkan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1579. Setelah itu, dilanjutkan oleh Maulana Muhammad (1585-1596) yang meninggal pada penakhlukkan Palembang sehingga tidak berhasil mempersempit gerakan Portugal di Nusantara.
Kerajaan Banten mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Dimana, Banten membangun armada dengan contoh Eropa serta memberi upah kepada pekerja Eropa. Namun, Sultan Ageng Tirtayasa sangat menentang Belanda yang terbentuk dalam VOC dan berusaha keluar dari tekanan VOC yang telah memblokade kapal dagang menuju Banten. Selain itu, Banten juga melakukan monopoli Lada di Lampung yang menjadi perantara perdagangan dengan negara-negara lain sehingga Banten menjadi wilayah yang multi etnis dan perdagangannya berkembang dengan pesat.
Kerajaan Banten mengalami kemunduruan berawal dari perselisihan antara Sultan Ageng dengan putranya, Sultan Haji atas dasar perebutan kekuasaan. Situasi ini dimanfaatkan oleh VOC dengan memihak kepada Sultan Haji. Kemudian Sultan Ageng bersama dua putranya yang lain bernama Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf terpaksa mundur dan pergi ke arah pedalaman Sunda. Namun, pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap dan ditahan di Batavia. Dilanjutkan pada 14 Desember 1683, Syekh Yusuf juga berhasil ditawan oleh VOC dan Pangeran purbaya akhirnya menyerahkan diri. (Media AMI/Disadur dari berbagai sumber/Foto by: M. Bundhowi)